Selasa 15 Dec 2015 08:08 WIB

Kekasih Allah yang tidak Kita Kenal

Becak
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Becak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekali-kali jangan pernah merasa diri lebih tinggi, lebih besar, lebih fakih, lebih berilmu, dan lebih banyak amal, karena kita tidak tahu orang di sekeliling kita.

Bisa jadi dia biasa-biasa saja, berpenampilan sederhana, bahkan di masyarakat hanya dipandang sebelah mata, tetapi ternyata berhati mulia dan termasuk pribadi bertakwa di sisi-Nya.

Ada cerita indah dan menarik, sekaligus menakjubkan, ketika membaca kisah yang dituliskan ustadz Salim A Fillah dalam bukunya "Barakallahu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta" pada halaman 448-449.

Tulisnya dalam buku itu, "Suatu malam, Ustadz Muhammad Nazhif Masykur berkunjung ke rumah. Setelah membicarakan beberapa hal, beliau bercerita tentang tukang becak di sebuah kota di Jawa Timur".

Ustadz Salim melanjutkan, “Ini baru cerita, kata saya. Yang saya catat adalah, pernyataan misi hidup tukang becak itu, yakni:

(1) jangan pernah menyakiti

(2) hati-hati memberi makan istri."

“Antum pasti tanya,” kembali Salim melanjutkan ceritanya sembari menirukan kata-kata Ustadz Muhammad.

"Tukang becak macam apakah ini, sehingga punya mission statement segala?". Saya juga takjub dan berulang kali berseru, “Subhanallah,” mendengar kisah hidup bapak berusia 55 tahun ini.

Beliau ini Hafidz Qira’at Sab’ah! Beliau menghafal Al-qur’an lengkap dengan tujuh lagu qira’at seperti saat ia diturunkan: qira’at Imam Hafsh, Imam Warasy, dan lainnya. Dua kalimat itu sederhana. Tetapi bayangkanlah sulitnya mewujudkan hal itu bagi kita.

Jangan pernah menyakiti. Dalam tafsir beliau di antaranya adalah soal tarif becaknya. Jangan sampai ada yang menawar, karena menawar menunjukkan ketidakrelaan dan ketersakitan.

Misalnya ada yang berkata, “Pak, terminal Rp 5.000 ya." Lalu dijawab,“Waduh, enggak bisa, Rp 7.000 Mbak."

Itu namanya sudah menyakiti. Makanya, beliau tak pernah pasang tarif. “Pak, terminal Rp 5.000 ya.” Jawabnya pasti OK. “Pak, terminal Rp 3.000 ya." Jawabnya juga OK. Bahkan kalau,“Pak, terminal Rp 1.000 ya.” Jawabnya juga sama, OK.

Gusti Allah, manusia macam apa ini.

Kalimat kedua, hati-hati memberi makan istri. Artinya, sang istri hanya akan makan dari keringat dan becak tuanya. Rumahnya berdinding gedek. Istrinya berjualan gorengan. Setop! Jangan dikira beliau tidak bisa mengambil yang lebih dari itu. Harap tahu, putra beliau dua orang. Hafidz Al-qur’an semua.

Salah satunya sudah menjadi dosen terkenal di perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Jakarta. Adiknya, tak kalah sukses. Pejabat strategis di pemerintah.

Uniknya, saat pulang, anak-anak sukses ini tak berani berpenampilan mewah. Mobil ditinggal beberapa blok dari rumah. Semua aksesoris, seperti arloji dan handphone dilucuti. Bahkan, baju parlente diganti kaus oblong dan celana sederhana.

Ini adab, tata krama.

Sudah berulang kali sang putra mencoba meminta bapak dan ibunya ikut ke Jakarta. Tetapi tidak pernah tersampaikan. Setiap kali akan bicara serasa tercekat di tenggorokan, lalu mereka hanya bisa menangis.

Menangis. Sang bapak selalu bercerita tentang kebahagiaannya, dan dia mempersilakan putra-putranya menikmati kebahagiaan mereka sendiri.

Ustadz Salim melanjutkan, “Waktu saya ceritakan ini pada istri di Gedung Bedah Sentral RSUP Dr. Sardjito keesokan harinya, kami menangis.

Ada banyak kekasih Allah yang tak kita kenal."

Ah, benar sekali: banyak kekasih Allah dan "manusia langit" yang tidak kita kenal.

Oleh      : Ustaz Salim A.Fillah

Sumber : Saling Sapa

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement