Rabu 16 Dec 2015 14:23 WIB

ICW: KPK Menuju Kematian

Rep: c20/ Red: Bilal Ramadhan
  Dari kiri Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, peneliti ICW Emerson Yuntho, Lola Easter, dan Aradila Caesar menutup mata dengan kain hitam bertuliskan Kapolri di Jakarta, Ahad (11/1). (Antara/Andika Wahyu)
Dari kiri Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, peneliti ICW Emerson Yuntho, Lola Easter, dan Aradila Caesar menutup mata dengan kain hitam bertuliskan Kapolri di Jakarta, Ahad (11/1). (Antara/Andika Wahyu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Aradila Caesar turut berduka cita atas masuknya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Program Legislasi Nasional 2015. Menurut dia, revisi tersebut akan membawa KPK menuju kematian.

"KPK telah menuju pada kematian," kata Aradila saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/12).

Menurut Aradilla, dengan masuknya revisi UU KPK dalam Prolegnas menunjukkan bila DPR tengah melakukan pelemahan terhadap KPK. Bukan hanya itu, kata dia, DPR juga melakukan pelemahan terhadap gerakan antikorupsi. "Berakhir sudah," ujar Aradilla.

Selain itu, ICW juga menilai bila ada kesan revisi UU KPK usulan DPR menjadi alat barter RUU Pengampunan Pajak yang diajukan pemerintah. Pasalnya, kata Aradila, kedua RUU tersebut secara bersamaan dimasukkan ke Program Legislasi Nasional 2015 dalam rapat paripurna di DPR Selasa siang.

Aradila menambahkan, masuknya revisi UU KPK ini akan menjadi tembok besar bagi para calon pimpinan yang baru menjalani uji kelayakan. Sebab, bila nantinya dijadikan sebagai undang-undang, akan mengekang tugas mereka sebagai penegak hukum di KPK.

"Tak banyak yang bisa mereka lakukan sebagai pimpinan nantinya. Percuma saja memimpin organisasi yang sudah tak bergigi," ujarnya.

Untuk itu, ICW mengimbau kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak mengeluarkan Surat Presiden soal persetujuan pembahasan RUU KPK. Karena, revisi tersebut bisa batal jika tidak mendapat persetujuan dari Presiden.

"Kalaupun selesai pembahasannya di akhir 2015, untuk jadi undang-undang itu tergantung presiden. Kalau presiden menolak, itu butuh 30 hari kemudian untuk merevisi, jadi tertunda," kata Aradila.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement