Rabu 16 Dec 2015 16:25 WIB

Kemenhub Diminta Menindak Tegas Keberadaan Taksi Uber

  Warga mengoperasikan aplikasi taksi uber via internet, Jakarta, Jumat (22/8). (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga mengoperasikan aplikasi taksi uber via internet, Jakarta, Jumat (22/8). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diminta bersikap tegas terkait keberadaan layanan taksi Uber yang dioperasikan oleh perusahaan peranti lunak melalui jasa panggilan mobil yang disediakannya. Sebab, selama ini taksi Uber sama sekali tidak mematuhi aturan yang termaktub dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan dalam UU No 22 Tahun 2009 sudah diatur untuk menjadi angkutan publik, perusahaan tersebut harus memiliki badan hukum yang jelas, membayar pajak, dan memakai pelat kuning. Jika masih memakai pelat hitam, maka itu mobil sewa (rental), jangan mengaku jadi taksi.

"Regulator terkesan tidak tegas terhadap hal ini. Meskipun hal ini menguntungkan konsumen dari sisi pemesanan (online) dan tarif yang lebih murah, tapi tetap saja kalau di kemudian hari ada apa-apa seperti pelanggaran berupa kriminal dan konsumen dirugikan, lantas konsumen mau lapor ke siapa?" kata Agus dalam keterangannya, Rabu (16/12/2015).

Menurut Agus, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bahkan sudah tegas menolak keberadaan taksi Uber di Jakarta, karena dianggap ilegal. "Untuk itu saya minta Kemenhub tegas untuk menyikapi hal ini. Langsung saja dilarang kalau tidak mau patuh terhadap UU. Jangan masuk ke wilayah abu-abu." katanya.

Soal kabar yang menyebutkan pendapatan seorang pengemudi taksi Uber yang mencapai Rp 16 juta per bulan, kata Agus, hal itu salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengejar anggota di Indonesia. "Hal itu hendaknya disikapi secara hati-hati oleh masyarakat."

International Launcher and Acting GM Uber Indonesia, Alan Jiang, pernah mengatakan pendapatan pengemudi taksi Uber bisa mencapai Rp 16 juta dianggap lumrah. Sebab, hingga kini, Uber belum memotong sepeser pun pendapatan sopirnya yang dibayarkan penumpang. Padahal, di negara-negara lain, Uber memangkas 20 persen dari pendapatan sopir untuk kas perusahaan.

Sebelumnya, Kemenhub dipastikan belum memberikan lampu hijau untuk layanan taksi Uber. Pasalnya, Uber dianggap masih ilegal, karena belum memiliki badan hukum yang jelas.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Djoko Sasono mengatakan jika Uber masih ingin beroperasi maka Uber harus terlebih dahulu menjadi perusahaan yang legal dengan mematuhi semua peraturan perundangan soal angkutan darat, termasuk UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Beberapa hal yang diatur dalam UU No 22 Tahun 2009, yaitu Uber harus memiliki badan hukum yang jelas, kendaraan yang dimiliki harus laik jalan melalui pengujian kendaraan bermotor (KIR), dan asuransi. Jika Uber sudah memenuhi apa yang disyaratkan dalam UU, maka pengoperasiannya tentu tidak akan sulit. "Hingga hari ini kami masih menunggu Uber untuk mengajukan izin dan lain-lain," kata Djoko.

Penolakan taksi Uber juga dilakukan oleh PT Angkasa Pura II (Persero) atau APII yang. Angkasa Pura II menyatakan dengan tegas menolak layanan taksi Uber yang dioperasikan oleh perusahaan peranti lunak melalui jasa panggilan mobil yang disediakannya. Keberadaan taksi Uber di bandara-bandara kelolaan AP II dinilai hanya akan mempersulit upaya penertiban taksi liar yang tengah coba diakomodir perusahaan menjadi lebih terorganisir.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement