REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai masih banyak pemerintahan daerah (pemda) yang belum memprioritaskan hak-hak korban kejahatan dalam sederet program di daerah. Ketua LPSK, Abdul Haris
Semendawai memperkirakan rata-rata 500 ribu peristiwa pidana terjadi di Indonesia.
"Korban-korban kekerasan banyak tersebar di daerah dan memenuhi hak-hak mereka sesungguhnya adalah kewajiban," kata Abdul Haris di Denpasar, Rabu (16/12).
Abdul Haris memaparkan empat faktor yang menghambat pemenuhan hak-hak korban. Pertama, belum seluruh hak korban di daerah bisa teridentifikasi. Kedua, penegak hukum dan pemerintah belum menjadi kesadaran bersama penegak hukum dan pemerintah.
Ketiga, daya jangkau pemenuhan hak-hak korban masih terbatas karena tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Keempat, belum semua hak-hak korban terakomodasi dengan baik. Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT).
Wakil Ketua LPSK, Teguh Soedasrsono menambahkan LPSK menggandeng berbagai pihak, khususnya daerah untuk merumuskan pola pencegahan dan memberi bantuan kepada korban tindak pidana kekerasan di daerah.
Langkah yang perlu disusun bersama antara lain penyusunan pola pencegahan dan pemberian perlindungan dan bantuan kepada korban tindak pidana kekerasan dan atau penyiksaan.
Berikutnya, mewujudkan kemampuan dan kerja sama antarpemangku kepentingan dalam pencegahan dan pemberian perlindungan bantuan kepada korban, serta meningkatkan komitmen juga perspektif pemangku kepentingan dalam memberi bantuan kepada korban. "Pencegahan menjadi hal penting karena semua orang berpotensi menjadi calon korban," katanya.