REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sidang gugatan terkait Pilkada Simalungun kembali digelar di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan, Rabu (16/12). Dalam persidangan ini, KPU Simalungun sebagai pihak tergugat membantah semua dalil yang disampaikan pihak penggugat, JR Saragih-Amran Sinaga.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum KPU Simalungun, Sedarita Ginting dalam sidang yang beragenda mendengarkan jawaban dari tergugat dan penyerahan dokumen hari ini.
"Ada 45-50 poin yang kita sampaikan. Intinya, kita membantah semua dalil-dalil penggugat karena semua yang dilakukan Komisioner KPU Simalungun sudah tepat dan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Sedarita usai sidang. (Baca: KPU Simalungun Heran dengan Gugatan JR Saragih-Amran Sinaga ke PT TUN)
Beberapa poin yang dibantah dalam jawaban KPU Simalungun, yakni soal mekanisme pengajuan gugatan ke PT TUN Medan, waktu gugatan yang kadaluarsa, serta pasangan tidak boleh dipandang terpisah melainkan sebagai satu kesatuan.
"Rencananya, pada sidang Jumat (18/12), kita akan menghadirkan saksi-saksi, kemungkinan juga saksi ahli," ujar Sedarita.
Pada Selasa (8/12) lalu, majelis hakim PT TUN Medan mengabulkan permohonan JR Saragih-Amran Sinaga untuk menunda surat keputusan KPU Simalungun yang telah membatalkan pencalonan pasangan nomor urut 4 itu. Putusan itu kemudian berdampak pada penundaan pemungutan suara di Simalungun.
Sebelumnya, Minggu (6/12), KPU Simalungun membatalkan pencalonan JR Saragih-Amran Sinaga sebagai peserta Pilkada 9 Desember.
Pasangan petahana ini dibatalkan pencalonannya setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan Amran Sinaga terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan atau turut melakukan perbuatan sebagai pejabat yang berwenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan tata ruang.
Dalam amar putusan teranggal 22 September 2014, majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar menjatuhinya hukuman empat tahun penjara. Saat di pengadilan tingkat pertama Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya dengan hukuman lima tahun penjara.
Sementara Peraturan KPU No 9 Tahun 2015 Pasal 88 ayat (1) huruf b menyebutkan, pasangan calon terkena sanksi pembatalan jika telah terbukti melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.