REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Golkar, Setya Novanto akhirnya memutuskan mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Ia mundur lantaran desakan publik, karena dianggap melanggar etika dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta permintaan saham di rencana perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Berdasarkan Pasal 87 ayat (3), UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), apabila seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya maka, pimpinan lain menetapkan salah seorang dari mereka untuk melaksanakan tugas pimpinan DPR yang berhenti.
Selain itu, pada Pasal 87 ayat (4), pengganti pimpinan DPR yang berhenti, berasal dari fraksi politik yang sama. Namun, politisi senior Partai Golkar Zainal Bintang menilai dengan mundurnya Setya Novanto tidak bisa dibaca Ketua DPR yang baru akan menjadi mutlak milik Golkar.
Hal ini lantaran besarnya 'badai' politik yang tercipta dari kasus pelanggaran etika tersebut, justru membuka wacana pergantian pimpinan DPR RI secara keseluruhan. Untuk itu, Zainal berpendapat, PDI-P yang tampil sebagai partai pemenang pemilu akan mencoba untuk berusaha mengadakan kocok ulang pimpinan DPR.
''Otomatis kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh PDI-P bersama parpol yang sealiran untuk menggalang dukungan di pleno DPR agar ada kocok ulang,'' ujar Zainal di Jakarta, Kamis (17/12).
Lebih lanjut, Koordinator Pusat EO-TKG (Eksponen Ormas Tri Karya Golkar) itu juga menilai, sebenarnya paket pimpinan DPR yang menempatkan Novanto dari Fraksi Golkar sebagai Ketua adalah sebuah anomali dan rekayasa yang tidak sehat. Sebab, susunan pimpinan DPR pada saat itu seolah meniadakan hak PDI-P sebagai parpol pemenang Pemilu.
''Karena itu, momentum ini sangat tepat untuk dilakukan kocok ulang. Tujuannya agar masyarakat dapat mendapatkan tauladan yang sehat dari wakilnya, tentang bagaimana berpolitik yang bermoral dan berbudaya,'' katanya.