REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga mantan narapidana korupsi berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah dalam hasil hitung cepat sementara. Mereka pun berhasil mengungguli para pejawat (incumbent). Indonesia Corruption Watch (ICW) sangat menyayangkan fenomena tersebut.
Peneliti dari ICW Donal Fariz menilai ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya fenoma tersebut.
"Problem ada di partai dan pemilih," kata Donal saat dihubungi, Kamis (17/12).
(Baca juga: Mantan Narapidana Korupsi Kalahkan Pejawat di Kabupaten Solok)
Menurut dia, partai politik yang mengusungnya belum menunjukan upaya perbaikan. Khususnya, kata dia, dalam gerakan antikorupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya calon bermasalah yang dibiarkan untuk maju dalam pilkada.
Selain itu, lanjut Donal, pemilih juga cenderung tidak melihat dan memikirkan latar belakang calon kepala daerah yang pernah menjadi napi korupsi.
"Para pemilih masih lemah dalam semangat untuk ikut dalam memberantas korupsi," katanya.
Donal menambahkan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan mantan napi untuk ikut pilkada juga sangat membuka akses bagi mereka.
"Baru satu tahun, para mantan napi ini bebas ikut pilkada," ujarnya.
Sampai saat ini, dari data ICW ada tiga mantan napi korupsi yang berhasil menang dalam hitungan cepat. Tiga orang tersebut yakni Vonnie Aneke Panambuna di Minahasa Utara, Gusmal calon bupati di Kabupaten Solok dan Soemarmo Hadi Saputro di Semarang.