REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai telah gagal memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya lewat transportasi umum. Ojek yang dijadikan masyarakat sebagai alternatif angkutan umum, dinilai sebagai solusi sesaat yang menyesatkan.
Pengamat transportasi, Joko Styowarno Meski sejumlah negara mengakui keberadaan ojek, namun peraturannya diperketat. Apalagi sebelumnya negara yang membolehkan ojek sudah lebih dulu membenahi angkutan umum.
"Seperti di Shanghai. Memang ada ojek, namun disediakan pangkalan yang tidak mengganggu fasilitas pejalan kaki. Itupun, kurang diminati karena kondisi transportasi umum sangat murah dan nyaman," kata Joko, Ahad (20/12).
"Sedangkan di Bangkok, ojek juga ada namun tidak boleh beroperasi di jalan-jalan umum dan jumlahnya dibatasi."
Di Indonesia, kendaraan roda dua tidak dapat dikatakan transportasi umum. Karena Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 2009 LLAJ tidak mengatur keberadaan ojek. "Ojek muncul sebagai angkutan umum paratransit karena beragam faktor, Seperti krisis ekonomi 1998. Meskipun ada, namun tidak memadai," ujar dia.
Ia berpendapat, seandainya pemerintah, khususnya pemimpin daerah menata dengan benar transportasi umum, pasti kota-kota di Indonesia saat ini lebih bermartabat. Karena itu, menurut Joko, tak heran jika di pilkada masyarakat berharap calon kepala daerah membuat transportasi yang lebih humanis.
Joko mengingatkan, calon kepala daerah jangan hanya sekedar menempel gambar dan foto di badan angkutan umum. Mereka juga harus serius memikirkan kesejahteraan sopir dan keluarganya.
Ambudarulnya pengelolaan angkutan umum membuat jumlah kendaraan pribadi meledak. Imbasnya impor minyak saban tahun naik.
"Impor minyak meningkat rata-rata 31 miliar dolar AS dalam lima tahun terakhir," ucap Joko. Tak hanya menimbulkan kemacetan, udara di perkotaan pun menjadi bertambah buruk.