REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Empat Mazhab fikih sepakat melarang bersentuhannya laki-laki dengan wanita ajnabi (nonmahram). Mazhab Hanafi mengharamkan secara mutlak. Walau kedua orang yang bersalaman merasa dirinya aman dari syahwat.
Demikian pula Mazhab Maliki. Ulama Mazhab Syafi'i memberikan pengecualian jika memang dalam kondisi darurat, seperti tindakan operasi yang dilakukan dokter terhadap pasiennya dan sebagainya. Mazhab Hanbali memperbolehkan laki-laki memandang wanita yang sudah lanjut usia, tetapi tetap tak boleh menyentuhnya.
Jika berpedoman pada pendapat ulama-ulama salaf, memang tak ada toleransi yang memperbolehkan untuk berjabat tangan dengan nonmahram. Namun, ulama kontemporer mengembangkan hukum fikih ini pada fiqh aulawiyat. Persoalan dirasa tak cukup jika hanya memakai hukum asalnya saja.
Menurut Qardhawi, dalam fiqh aulawiyat, ada dua toleransi yang diberikan dalam persoalan ini. Pertama, pengharaman hukum berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak, baik pihak laki-laki maupun wanita. Atau, di belakang itu dikhawatirkan akan terjadinya fitnah.
(Baca: Bersalaman dengan Lawan Jenis menurut Tuntunan Islam)
Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya--yang pada asalnya mubah itu—bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Kedua, dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki. Demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki. Karena, berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa dia pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya. Maka, wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Hal ini diambil Qardhawi sebagai dalil walau banyak kalangan yang mendhaifkan riwayat ini.
Hal ini sudah ditunjukkan Alquran dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung) dan tiada gairah terhadap laki-laki, di mana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain.
Allah SWT berfirman, "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS an-Nur [24]: 60).
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
Lebih dari itu bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati. Karena, menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah RA, Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat. Berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA di mana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.