Rabu 23 Dec 2015 05:25 WIB

Ini Empat Fatwa DSN Soal BPJS Syariah

Rep: c25/ Red: Nidia Zuraya
Pegawai melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan cabang Jakarta Selatan, Rabu (25/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pegawai melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan cabang Jakarta Selatan, Rabu (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membahas dan mengesahkan fatwa tentang BPJS Syariah pada Selasa (22/12). Empat fatwa ini tentu berisikan sejumlah perbaikan, yang merupakan kelanjutan fatwa kesepakatan ijtima tentang BPJS yang ada.

Wakil Kepala Badan Pelaksana Harian DSN MUI, Jaih Mubarok, menegaskan fatwa yang diputuskan tentu tidak akan sempurna. Empat fatwa tersebut mencakup sertifikat deposito syariah, anuitas syariah untuk program pensiun, pedoman transaksi voucher multi manfaat syariah, dan penyelenggaraan BPJS syariah.

Jaih menekankan pembahasan dan penegesahan fatwa soal BPJS Syariah, dimaksudkan untuk menerangkan mana yang menjadi hak dan kewajiban para penerima BPJS Syariah. Ditambah dengan pemisahan Dana Jaminan Sosial dengan BPJS, diharapkan pengguna BPJS Syariah sudah memahami hak dan kewajiban dan tidak adalagi kebingunan soal biaya yang akan ditanggung.

Untuk pihak yang akan mengelola, Jaih menilai akan lebih ideal apabila BPJS Syariah bisa berdiri sendiri, di luar dari BPJS yang sudah ada sekarang. Namun, tentu akan didahulukan pilihan-pilihan lain yang paling mungkin dilakukan dalam waktu dekat, seperti membuat BPJS Syariah seperti semacam unit ataupun seperti sebuah produk di dalam BPJS yang ada.

Terkait syarat rumah sakit, klinik atau dokter yang diperbolehkan memberikan pelayanan kepada pengguna BPJS Syariah, Jaih mengatakan hal itu tidak sampai ada dalam pembahasan yang telah dilakukan. Ia menggaris bawahi tidak ada pelarangan ataupun perintah untuk rumah sakit, klinik atau dokter, termasuk yang beragama non Muslim untuk melayani peserta BPJS Syariah.

Jaih menjelaskan MUI tidak memiliki kuasa untuk menargetkan penerapan BPJS Syariah akan dilakukan, namun ia meminta untuk terlebih dahulu membuat fatwa yang ada untuk disahkan atau diadopsi menjadi peraturan perundang-undangan. Meski butuh banyak perbaikan, ia berharap fatwa yang ada bisa terhindar dari hal-hal yang dilarang dalam agama saat dioperasikan nanti.

"Saya berharap fatwa yang telah disahkan akan terjauh dari gharar, maisir dan riba, apabila sudah dioperasikan nanti," kata Jaih kepada Republika, Selasa (22/12).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement