REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pihak kepolisian masih mendominasi pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. KontraS mencatat setidaknya terdapat 238 peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi secara sewenang-wenang sepanjang 2015.
Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi, Puri Kencana Putri mengatakan, kebebasan berserikat dan berkumpul memang merupakan kategori hak yang dapat dikurangi dan dibatasi. Namun, menurut dia, pembatasan yang digunakan untuk mengurangi hak-hak tersebut tidak absolut.
"Harus disertai dengan ukuran-ukuran tertentu. Utamanya untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi lainnya yang harus tetap dilindungi dalam keadaan apapun," kata Puri di Kantor KontraS Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Sabtu (26/12).
Puri juga menilai bila aparat kepolisian masih menjadi pelaku utama pelaku pembatasan berekspresi. Terhitung ada 85 peristiwa. Pembatasan tersebut melalui pembubaran aksi demonstrasi dan mengemukakan pendapat di muka umum, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang, penganiayaan, pelarangan liputan, dan acara-acara publik, hingga pelarangan menggunakan hijab.
"Selain polisi, aktor-aktor lainnya seperti pejabat, ormas, aparat TNI dan Universitas juga dianggap mengekang kebebasan berekspresi," kata Puri. (Jokowi Dinilai Tidak Berpihak pada Penegakan Pelanggaran HAM).
KontraS mencatat pengekangan oleh pejabat publik ada 49 peristiwa, organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menjunjung model advokasi keagamaan garis keras 31 peristiwa, aparat TNI 17 peristiwa, dan universitas 5 peristiwa. KontraS pun menyoroti beberapa wacana yang berkembang di publik, seperti masuknya draf pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pemerintah.
"Munculnya kebijakan semacam itu sama sekali tidak memiliki ruang definisi penghinaan presiden yang baku," katanya.
Sehingga, memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan tindakan penghinaan juga bertentangan dengan prinsip di mana warga sebagai kelompok kolektif sosial, ekonomi, dan politik memiliki hak untuk memberikan opini, bahkan kritik. Hal itu untuk memberikan ruang partisipasi publik dalam kehidupan negara yang berdemokratis.