REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguatan demokrasi dan ekonomi yang diharapkan bisa dimulai pada 2015, ternyata belum bisa mewujud. Padahal sistem demokrasi dipilih pada reformasi 1998 karena dianggap sebagai sistem politik terbaik yang tersedia untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Forum Pemimpin Redaksi Indonesia menyatakan, terpilihnya Presiden baru dan terbentuknya pemerintahan baru tidak memperkuat sistem presidensil yang telah kita sepakati. Presiden hanya dianggap sebagai petugas partai, sehingga kehilangan mahkota yang seharusnya disandangnya.
"Masyarakat menangkap sinyal pelemahan kewibawaan Presiden lewat berbagai kegaduhan yang terjadi sepanjang 2015, yang justru muncul dari kalangan pemerintahan. Presiden juga mendapatkan masalah justru dari partai pendukungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan," ujar Ketua Umum Forum Pemimpin Redaksi Indonesia, Suryopratomo, dalam keterangan tertulisny, Kamis (31/12).
Di sisi parlemen, kata dia, wibawa jatuh ke titik nadir dengan skandal yang melibatkan pimpinan lembaga tinggi negara itu. Nilai kepantasan dan kepatutan tidak menjadi tabiat dari para politisi negeri ini.
"Dalam sistem demokrasi memang terbuka untuk bisa dilakukannya checks and balances. Namun pengawasan hendaknya ditujukan kepada penguatan sistem demokrasi, bukan malah sebaliknya," ujarnya.
Ia menjelaskan, filsuf politik asal Perancis, Alexis de Tocqueville sejak awal mengingatkan kekuatan demokrasi tidak akan punah oleh ketiadaan kekuasaan atau pun sumber daya, tetapi akan runtuh karena salah arah kekuasaan dan salah guna sumber daya.
Dengan demikian Forum Pemimpin Redaksi Indonesia berpendapat, Presiden memiliki kewajiban melakukan konsolidasi demokrasi dan membangun pijakan ekonomi yang kuat bagi Indonesia di tahun berikutnya.
Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden harus membangun komunikasi untuk membawa seluruh masyarakat bergerak ke tujuan yang sama yakni menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.