REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekjen Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki-moon mengatakan sangat kecewa terhadap hukuman mati oleh Arab Saudi bagi 47 orang, termasuk seorang ulama terkemuka Syiah, memicu unjuk rasa keras di Iran.
Ulama Syiah Nimr al-Nimr, yang menghabiskan lebih dari satu dasawarsa mempelajari ilmu agama di Iran, berada di balik unjuk rasa menentang pemerintah di kerajaan Sunni Arab Saudi pada 2011. Sesudah hukuman terhadap dirinya pada Sabtu (2/1), kerumunan marah melemparkan bom bakar di luar kedutaan Arab Saudi di Teheran sebelum menyerbu bangunan tersebut.
Juru bicara Ban Ki-moon mengatakan Sabtu (2/1), Sekjen PBB sangat kecewa atas hukuman mati terhadap 47 orang oleh Arab Saudi itu. Dengan menyesalkan kekerasan di luar kedutaan Arab Saudi di Teheran, dia meminta tenang dan pengendalian diri, serta mendesak semua pemimpin kawasan bekerja untuk menghindari ketegangan lebih buruk antaraliran, kata juru bicaranya dalam pernyataan.
Hukuman mati melonjak di Arab Saudi sejak Raja Salman naik tahta satu tahun lalu. Kelompok hak asasi berulang kali mengangkat kekhawatiran terkait keadilan dalam pengadilan di kerajaan tersebut, tempat pembunuhan, penyelundupan obat terlarang, perampokan bersenjata, pemerkosaan dan kepindahan agama mendapatkan hukuman mati.
"Sheik al-Nimr beserta sejumlah tahanan lainnya yang telah dieksekusi dinyatakan bersalah setelah adanya pengadilan yang menimbulkan kekhawatiran serius atas asal tuduhan dan keadilan proses tersebut," kata juru bicara Ban.
Sekjen PBB mengangkat masalah Nimr tersebut dengan pemimpin kerajaan Arab Saudi dalam sejumlah kejadian, tambah pernyataan tersebut. Ban dikutip saat dia menyatakan kembali pendirian kuatnya yang menentang hukuman mati.
"Dia menunjuk peningkatan gerakan di dalam masyarakat dunia untuk penghapusan hukuman itu dan mendesak Arab Saudi mengganti hukuman mati di kerajaan tersebut," tambah juru bicara itu.
Semua yang dihukum mati adalah warga Arab Saudi, kecuali seorang warga Mesir dan seorang warga Chad.
Baca juga: Vietnam dan Cina Berselisih Soal Pendaratan Pesawat