REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski dibangun di pusat Katolik, pembangunan Masjid Agung Roma tampak berani. Masjid yang pembangunannya memakan waktu 20 tahun itu terlihat besar dan megah.
"Mukjizat" di tengah kemustahilan mengingat sejak era diktator Italia Benito Mussolini yang berkuasa pada 1922-1943, pendirian masjid ditentang di wilayah subjek hukum internasional Vatikan. "Takkan ada masjid di Roma selama tak ada gereja di Makkah," ancamnya kala itu.
Namun, atas kerja sama 23 negara mayoritas Islam Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Bangladesh, Brunei Darussalam, Indonesia, Irak, Kuwait, Libya, Malaysia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Qatar, Senegal, Sudan, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania, akhirnya masjid ini bisa berdiri.
Keterlibatan negara-negara Islam dalam pendirian masjid yang mulai pada 1975 ini ditandai dengan prasasti yang diabadikan dalam sebuah plakat marmer putih dipasang di dinding dekat tangga utama masjid.
Masjid yang selesai dibangun pada 1995 ini berbentuk kotak. Kubah sebagai simbol umum bertengger di atas bangunan. Besarnya lima kali lebih besar daripada kubah-kubah yang mengelilinginya. Warna abu-abu dipilih agar menahan sengat matahari.
Di tangan sang arsitek, Paolo Portoghesi, warga asli Italia, masjid yang berdiri di atas lahan seluas 29.915 meter persegi ini memadukan gaya Roman dan Islam. Gaya Roman (Romanesque) pertama kali diperkenalkan oleh Charles Alexis dan Adrien de Gerville untuk menggambarkan arsitekur di atas Gotik.
Memasuki ruangan utama masjid yang terletak di Jalan Viale della Moschea ini, kita mesti melewati selasar terlebih dahulu. Selasar ini panjangnya kurang lebih sekitar 15 meter dari tangga yang menghubungkan antara bagian luar dan dalam masjid. Setelah menaiki tangga dengan ketinggian kurang lebih 2,5 meter dari dasar tanah ini, baru kita akan mulai merasakan detail kemegahan bangunan-bangunan Romawi kuno.