REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Penambangan liar di Sulawesi Selatan (Sulsel) terus meningkat. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel menyebut pada 2015, penambangan liar mencapai 348, naik 54 persen dari tahun lalu.
Kebanyakan penambangan dilakukan pada golongan c, seperti batu gunung, batu kali, sirtu, pasir, tanah urug dan tanah liat. Dari 266,205 hektar lahan, Dinas ESDM menyebut 95 hektar digunakan penambang liar.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan, Kepolisian tidak bisa langsung melakukan penindakan terhadap penambangan liar. Walaupun informasi mengenai hal tersebut sudah diterima Polda Sulselbar.
Frans menuturkan, Kepolisian baru akan menindak jika laporan tentang penambangan liar ini telah masuk, baik dari pemerintah daerah ataupun masyarakat yang merasa dirugikan. "Ya walaupun pertambangan itu disebut sebagai tambang ilegal, pihak polisi tidak bisa menindak hal ini jika tidak ada laporan yang diterima kami," ujar Frans Barung, Rabu (6/1).
Dijelaskan dia, proses perizinan galian tabang tipe c diatur dalam undang-undang merupakan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Namun saat penambangan ini berkaitan dengan perusakan kawasan hutan lindung, kawasan suaka marga satwa, membahayakan masyarakat banyak, misalnya mengakibatkan longsor, atau menyebabkan kerusakan ekosistem seperti terjadinya degradasi sungai, maka hal itu merugikan masyarakat dan negara.
Kepolisian pun bisa melakukan penindakan baik ada laporan maupun tidak adanya laporan yang masuk. "Polisi bisa melakukan penindakan dengan menghadirkan saksi ahli. Karena hutan lindung atau kawasan marga satwa adalah lahan yang dilindungi negara. Dan ini tidak boleh diganggu," ucap Frans Barung.