REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja lembaga DPR RI masuk tahun kerja kedua dinilai masih sangat rendah. Setahun lebih bekerja, DPR jauh dari capaian untuk menyelesaikan 37 program legislasi nasional prioritas (Prolegnas) tahun 2015. Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai, salah satu penyebab rendahnya kinerja 555 anggota DPR harus disorot dari kondisi pimpinan DPR saat ini.
Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan, tantangan pertama dari merosotnya kinerja DPR justru datang dari kursi pimpinan tertinggi DPR. Sebab itu, kalau ingin memerbaiki kinerja legislatif, harus ada evaluasi di kursi pimpinan DPR RI. Selama tahun 2015 lalu, pucuk pimpinan DPR justru membuat internal DPR mengalami kegaduhan.
Tercatat, 3 pimpinan yang ada di DPR terlibat pada dugaan pelanggaran kode etik. Puncaknya, 17 Desember 2015 kemarin, Ketua DPR Setya Novanto resmi mengundurkan diri dari jabatannya.
(Baca: Ridwan Kamil Pilih Umrah Dibanding Penjaringan Gerindra untuk Bakal Cagub DKI)
“Kinerja paket pimpinan seperti itu sangat layak untuk dievaluasi. Paket ini sudah rusak oleh pelanggaran etika,” ujar Lucius Karus di kantor Formappi, Kamis (7/1).
Lucius menambahkan, drama di kursi pimpinan DPR belum usai. Sebab, singgasana pimpinan DPR belum menemui titik akhir penyelesaian. Perlu ditunggu apakah 4 pimpinan DPR yang saat ini ada akan bertahan atau ikut lengser dari jabatannya.
Yang pasti, kata Lucius, untuk memerbaiki kinerja institusi DPR dibutuhkan sosok pemimpin yang baru dan lebih berwibawa di DPR. Kepemimpinan, dinilai menjadi faktor kunci bagi kinerja lembaga.
Untuk memilih pemimpin DPR yang berwibawa ini, dibutuhkan kepedulian dan tanggungjawab seluruh fraksi yang ada di DPR. Posisi pimpinan DPR, kata dia, harus diisi oleh tokoh yang mau berusaha dan mampu bertindak memberikan arah, bersedia memandu, serta berani mengambil tanggungjawab atas kinerja seluruh untuk dan komponen kelembagaan DPR. Hal ini dibutuhkan untuk mewujudkan institusi DPR yang jujur, efisien dan efektif.
“Kepemimpinan (DPR) tidak boleh dipermainkan, juga tak bisa dianggap sekadar formalitas saja, apalagi semata-mata sebagai pemenuhan nafsu bagi-bagi jatah kekuasaan,” ujar Lucius.
Baca juga: Gugatan Iwan Fals Dikabulkan