REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik internal di tubuh Partai Golkar masih menguat, meskipun secara hukum tak satu pun kubu memiliki legal standing. Hal itu ditegaskan para eksponen DPP Partai Golkar hasil Munas Riau di Akbar Tandjung Institute, Jakarta, hari ini (7/1).
Secara hukum, kepengurusan hasil Munas Riau diakui sah. Namun, masa baktinya sudah usai sejak 1 Januari 2016 lalu. Agar tak terjadi kekosongan yang berlarut-larut pada tampuk DPP, para tokoh hasil Munas Riau meminta kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono untuk duduk bersama.
Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Golkar hasil Munas Riau, Ahmad Hafiz Zawawi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja partai penguasa selam Orde Baru itu dalam setahun terakhir. Menurut dia, biang keladi merosotnya citra partai ini tak lain perebutan pengakuan hukum antardua kubu.
Dia menambahkan, penyelesaian masalah hanya bisa melalui musyawarah politik, bukan proses hukum yang terbukti berlarut-larut. (Sahabat Ical Minta Akbar Tandjung Selamatkan Golkar).
"Tetapi, para pemimpin partai sekarang ternyata tidak bisa menyelesaikan konflik-konflik yang ada. Maka, kita (para tokoh Golkar hasil Munas Riau) akan melakukan penyelamatan dan pembangunan kembali partai. Jangan sampai partai kemudian semakin terpuruk dan keluar dari garis edar," kata Ahmad Hafiz Zawawi dalam acara itu.
Dalam jumpa pers ini, Hafiz Zawawi ditemani tokoh Golkar lainnya, antara lain Indra Bambang Utoyo, Agun Gunandjar, dan Priyo Budi Santoso. Hadir pula tuan rumah, Akbar Tandjung yang merupakan ketua dewan pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Riau.
Di hadapan mereka, Hafiz Zawawi juga mengeluhkan tindakan sewenang-wenang dari masing-masing elite kubu Munas Jakarta maupun Munas Bali. Dia menilai, Ical dan Agung hanya memikirkan nasib kubunya sendiri bila menolak duduk bersama. "Golkar ini adalah partai politik, bukan perusahaan keluarga!" ketus dia.
"Golkar itu kalau (dianggap) perusahaan, perusahaan terbuka milik semua orang. Tidak ada satu orang pun yang punya saham mayoritas."