REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan APBN 2016 pada November 2015 lalu diwarnai polemik mengenai proyek pembangunan kompleks Parlemen. Usulan proyek tersebut mengemuka sejak lembaga legislatif masih diketuai Setya Novanto.
Alokasi uang negara sebesar Rp 740 miliar sudah masuk dalam APBN 2016. Sejumlah lembaga antikorupsi menilai pengesahan tersebut sebagai buruknya hasil lobi pemerintah dengan DPR. Adapun alokasi keseluruhan untuk proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), misalnya, mendesak agar proyek yang bersifat multi-years tersebut dibatalkan melalui pengesahan APBNP 2016 nanti. Proyek tersebut juga didesak untuk dihentikan sementara.
"Belum ada dokumen perencanaan resmi dari arsitek Kementerian PU ataupun belum ada Amdal dan izin dari Pemprov DKI Jakarta," kata Sekjen FITRA, Yenny Sucipto, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (8/1).
Terpisah, anggota Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad menegaskan DPR semestinya peka dengan kondisi perekonomian belakangan ini. Dia menilai, pembangunan gedung baru DPR belum diperlukan.
Untuk diketahui, Fraksi Gerindra menolak masuknya alokasi pembangunan gedung baru DPR dalam APBN 2016. Untuk itu, kata Sufmi, fraksinya akan memperjuangkan pembatalan anggaran proyek tersebut dalam APBNP 2016.
"Gerindra tetap konsisten menolak pembangunan gedung DPR. Ya walaupun sendiri, kami akan fight bersama rakyat," ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu, Jumat (8/1).
Sebaliknya, dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno menganggap wajar proyek pembangunan gedung baru DPR. Sebab, Hendrawan menuturkan, untuk setiap anggota DPR ada empat orang tenaga ahli yang bekerja di Senayan. Sementara, ruang kerjanya hanya seukuran 30 meter persegi.
"Kalau you tanya semua anggota DPR, bagaimana kondisi ruang kerja mereka, mereka pasti akan mengatakan, kondisinya sudah tak memadai," kata Ketua DPP PDI Perjuangan itu, Jumat (8/1).
Namun, jelas Hendrawan, pelaksanaan proyek tersebut juga memerhatikan aspek prioritas. Sehingga, akan ada penilaian penggunaan anggaran untuk setiap tahun sejak 2016, sampai megaproyek ini usai.
"Itulah sebabnya disusunlah anggaran tahun jamak, multi-years. Ya karena total untuk membuat kompleks DPR itu kan kurang lebih Rp 2 triliun."
Atas dasar itu, Hendrawan menolak keinginan agar proyek pembangunan gedung baru DPR dibatalkan melal
APBNP 2016 nanti. Meskipun demikian, pengawasan dari institusi penegak hukum, semisal KPK, menjadi mutlak. Pengguna uang rakyat sebesar triliunan rupiah harus benar-benar diawasi.
"Kita meminta agar anggaran ini digunakan secara efisien dan transparan. Jangan ada kongkalikong," tukas dia.