REPUBLIKA.CO.ID,PYONGYANG -- Korea Utara membela uji nuklir terbarunya, dengan menyebutkan jatuhnya Saddam Hussein di Irak dan Moamer Gaddafi di Libya karena mengabaikan senjata nuklir.
Negara itu juga memperingatkan Korea Selatan, yang melanjutkan siaran propaganda bersuara keras di perbatasan antar-Korea sebagai tanggapan atas uji pada Rabu (6/1), bahwa langkah mereka mengarahkan semenanjung terbelah itu ke ambang peperangan.
Laporan KCNA pada Jumat malam menyebutkan uji nuklir keempat Pyongyang adalah peristiwa besar, yang memberikan Korea Utara kekuatan cukup kuat untuk mengamankan perbatasannya terhadap pasukan berbahaya, termasuk Amerika Serikat. "Sejarah membuktikan bahwa ancaman kuat nuklir menjadi pedang berharga terhadap serbuan, yang membuat putus asa," kata tanggapan itu.
Tanggapan disiarkan KCNA itu menyebutkan keadaan dunia saat ini serupa dengan hukum alam, dengan hanya yang terkuat yang akan menang. "Saddam Hussein di Irak dan Gaddafi di Libya tidak dapat menghindari kehancuran setelah dasar pengembangan nuklir mereka dirampas dan mereka menghentikan kegiatan nuklir mereka," katanya. Kedua pemimpin tersebut dinilai telah membuat kesalahan, karena menyerah terhadap tekanan negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk perubahan rezim.
Sementara anggota Dewan keamanan PBB membahas hukuman, pemimpin dunia mencoba membentuk kesepakatan tentang bagaimana sebaiknya menghukum negara pimpinan Kim Jong-un itu.
Korea Selatan pada Kamis mengambil langkah unilateral mereka sendiri dengan menyalakan pengeras suara mereka di perbatasan dan menyuarakan campuran pesan propaganda dan musik K-pop ke Korea Utara.
Taktik serupa digunakan pada saat meningkatnya ketegangan lintas perbatasan tahun lalu, yang menunjukkan Pyongyang yang marah mengeluarkan ancaman akan serangan artileri terhadap pengeras suara tersebut jika tidak dimatikan. Dalam aksi massa pada Jumat di lapangan Kim Il Sung, Pyongyang, untuk merayakan uji coba tersebut, pejabat senior partai yang berkuasa, Kim Ki Nam mengatakan Seoul sekali lagi bermain dengan api.
"Amerika Serikat dan boneka-boneka mereka tidak membuang waktu untuk mengarahkan situasi semenanjung ini ke ambang peperangan, melanjutkan siaran peperangan psikologis mereka," ujar Kim Ki Nam.