REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan, PPP tidak bisa hanya mengandalkan legalitas dari putusan pengadilan untuk menyelesaikan konflik kepengurusan partai. PPP harus melihat fakta politik, dimana ada kepengurusan terbelah.
"Mekanisme penyelesaian seharusnya lewat politik juga. Kalau diselesaikan lewat pengadilan itu menunjukkan ketidakmatangan politik," katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (9/1). (Lukman Temui Maiman Bahas Islah PPP).
Sekarang ini, kata Ray, PPP kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy sedang mengarah pada siapa yang mendapat dukungan Presiden RI Joko Widodo. Secara simbolik, kubu Romi dianggap lebih dekat dengan Presiden. Hal ini yang mungkin menjadi pertimbangan kubu Djan enggan melakukan muktamar Islah.
Namun sesungguhnya, di situlah kepemimpinan seseorang diuji. Kalau mendapat dukungan hanya separuh dari anggota, sementara separuh anggota lain mendirikan kepengurusan tandingan, maka kepemimpinan itu tidak memiliki restu memadai.
PPP harus melakukan dialog bersama. Menurut dia, percuma apabila memiliki legitimasi secara legal, namun tidak mempunyai legitimasi secara politik. Apabila kedua kubu PPP tetap tidak mau melakukan muktamar Islah, maka dampaknya dapat dilihat dari pelaksanaan pilkada serentak beberapa waktu lalu yang tidak terkonsolidasi.
Bukan tidak mungkin, hal tersebut juga akan terjadi di pilkada 2017 dan pemilihan Presiden 2019 mendatang. "Sia-sia, energi mereka akan terbuang begitu besar," kata Ray.