REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan hunian berimbang masih belum banyak dilaksanakan oleh para pengembang.
Padahal kebijakan tersebut merupakan salah satu kunci pengurangan backlog yang diperkirakan berjumlah 13,5 juta unit, berdasarkan konsep kepemilikan.
"Backlog saat ini sebesar 13,5 juta unit, sekitar 60 persen nya itu adalah kebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sehingga yang lebih banyak dibutuhkan adalah rumah untuk kelas menengah kebawah," ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin melalui keterangan yang diterima Republika.co.id, Senin (11/1).
Menurut amanat UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, diatur bahwa pengembang dalam membangun perumahan, wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Permenpera No. 10 Tahun 2012, bahwa konsep hunian berimbang untuk rumah tapak adalah dengan perbandingan 1:2:3. Yaitu setiap 1 rumah mewah, wajib diimbangi dengan 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana, dalam satu hamparan, atau tidak dalam satu hamparan tetapi pada satu wilayah Kabupaten/Kota.
Sedangkan dalam UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, diatur bahwa dalam pembangunan rumah susun komersial, pengembang wajib menyediakan rumah susun umum (untuk MBR)sekurang-kurangnya 20 persen dari total luasan lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Kebijakan ini sempat dikeluhkan oleh para pengembang, karena harga tanah yang dianggap strategis untuk rumah komersil harganya jauh lebih mahal. Sehingga tidak dimungkinkan untuk dibangun rumah sederhana pada satu hamparan karena tidak sesuai dengan harga jual.
"Sebenarnya saat ini pengembang sudah diberi kemudahan. Harga tanah yang tinggi tidak memungkinkan pengembang membangun rumah sederhana disatu hamparan dengan rumah komersial," ujar Syarif.
Ia menjelaskan, melalui pertimbangan tersebut, pengembang diperbolehkan untuk membangun hunian berimbang dalam satu wilayah Kota atau Kabupaten. Tetapi masih banyak pengembang yang tetap belum menjalankan.
Pemerintah Daerah juga diharapkan dapat segera membuat perda untuk mendukung Undang-Undang yang mengatur hunian berimbang, sebagaimana diamantkan pada pasal 36 ayat 3 UU No.1 Tahun 2011. Meskipun, menurut Syarif, meski belum ada perda, UU yang berlaku sudah mengaturnya dan perda bersifat menguatkan.
"Kunci utamanya adalah Pemerintah Daerah. Karena izin IMB dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Kalau saat pengembang mengajukan siteplan, dan dalam siteplan tidak menunjukkan komposisi hunian berimbang, sebaiknya izin tidak dikeluarkan," ungkapnya.