REPUBLIKA.CO.ID, Makna dasar kata nur sebenarnya adalah petunjuk, karena nur dalam arti cahaya itu sendiri petunjuk. Sedangkan Alquran berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat jalan atau orang yang sedang mencari kebenaran. Nabi Muhammad SAW disebut juga nur, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar.
Al- Gazali dalam kitabnya Misykat al-Anwar, mengatakan bahwa kedudukan Alquran bagi mata akal sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah. Sebab, hanya dengan itulah sempurna penglihatan. Dengan itu pula Alquran lebih patut menyandang nama nur sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya.
Menurut al-Gazali, hakikat nur yang sebenarnya hanyalah Allah SWT, sedang sebutan cahaya bagi selain Dia hanyalah kiasan, tak ada wujud sebenarnya. Karena itu, al-Gazali membedakan makna nur kepada pengertian di kalangan orang awam dan pengertian di kalangan orang khusus.
Nur dalam pengertian orang awam menunjuk kepada sesuatu yang tampak. Sedangkan ketampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Ada kalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan di saat ia bersembunyi bagi pandangan lainnya. Cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya.
Nur dalam pengertian orang khusus adalah "jiwa yang melihat". Rahasia cahaya adalah ketampakannya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi pencerapan bergantung, selain pada adanya cahaya, juga pada adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan sesuatu, namun tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan sesuatu bagi orang buta.
Dapat disimpulkan pula, "jiwa (roh) yang melihat” sama dengan cahaya yang tampak dalam kedudukannya sebagai unsur yang harus ada. Bahkan, berdasarkan hal ini, "jiwa (roh) yang melihat" lebih tinggi kedudukannya karena memiliki daya cerap dan dengannya pula suatu pencerapan dapat terwujud.
Di kalangan kaum sufi (falsofi), istilah nur biasanya dinisbahkan dengan Muhammad SAW. Sehingga menjadi ungkapan Nur Muhammad atau Halaqah Muhammadiyah. Konsep Nur Muhammad pertama kali dibawakan oleh al-Hallaj (858-922). Namun sebenarnya konsep nur telah dikenal sebelumnya di kalangan Syiah.
Kaum Syiah percaya akan adanya cahaya purba yang melewati nabi yang satu ke nabi yang lain dan setelah itu sampai kepada imam-imam. Nur itu melindungi nabi-nabi dan imam-imam dari dosa, menjadikan mereka ma'suni, dan mengaruniai mereka pengetahuan tentang rahasia-rahasia ilahi. Namun teori seperti ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.
Teori tentang adanya nur atau Nur Muhammad ini berdalil dengan penafsiran surat an-Nur ayat 35 yang mengatakan, "Allah adalah cahaya langit dan bumi." Kata nur pada ayat ini ditafsirkan dengan Nur Muhammad. Selain ayat ini, digunakan pula hadis-hadis, seperti, "Saya adalah manusia pertama dalam kejadian", "Yang pertama diciptakan Allah adalah Nurku", dan "aku diangkat sebagai nabi, sedang Adam masih di antara air dan tanah". Namun seluruh hadis-hadis ini adalah palsu, seperti diterangkan pakar hadis Abu al-Ala Afifi.