REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala badan tenaga nuklir nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto menyebut Indonesia memiliki potensi 70 ribu ton uranium yang merupakan bahan bakar reaktor nuklir. Tetapi, hingga kini Indonesia belum memanfaatkan tenaga nuklir untuk kepentingan masyarakat.
"Kita belum manfaatkan karena memang kita belum punya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)," ujar Djarot usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Selasa (12/1).
Riset tentang nuklir sendiri telah dilakukan Batan sejak 40 tahun lalu. Hingga kini, Batan sudah memiliki reaktor riset di tiga kota, yakni Serpong, Yogyakarta dan Bandung.
Selain itu, menurut Djarot, lembaganya juga sudah pernah melakukan studi kelayakan nuklir di Pulau Bangka. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan pada 2011-2013, lokasi tersebut layak dibangun PLTN.
Bahkan, dia melanjutkan, Batan pernah mendapat surat dari para gubernur se-Sumatra yang menginginkan agar kebutuhan listrik di Pulau Sumatra disuplai dari PLTN Bangka. Namun, Batan tidak bisa merespons keinginan tersebut lantaran Indonesia hingga kini belum membuat keputusan apakah akan mengembangkan energi nuklir atau tidak.
Menurut Djarot, Presiden Jokowi telah menginstruksikan pada Kementerian ESDM untuk mengkaji secara cermat semua potensi energi baru terbarukan yang ada di Indonesia, termasuk nuklir. Dari situ baru akan ditentukan apakah nuklir termasuk energi terbarukan yang akan dikembangkan atau tidak.
"Ketika Pak Jokowi mengatakan ya atau tidak, kita ikuti saja," katanya.
Menteri ESDM Sudirman Said menyebut energi nuklir belum mendesak untuk dikembangkan. Sebab, Indonesia masih memiliki banyak potensi energi baru terbarukan lain yang belum dieksplorasi, mulai dari hydro, energi angin, arus laut, matahari dan geothermal. Potensinya, menurut Sudirman, sekitar 300 megawatt. Potensi itulah yang menjadi prioritas untuk dikembangkan lima tahun ke depan.
"Jadi kita belom punya timeline kapan sebaiknya membangun PLTN," ujar Sudirman.