REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hasil Munas Riau menggelar pertemuan dengan unsur Mahkamah Partai Golkar (MPG), pada Selasa (12/1). Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan masukan kepada MPG agar segera bersidang sehubungan dengan berlarutnya konflik internal partai.
"Memberi masukan kepada para yang terhormat para anggota Mahkamah Partai Golkar. Oleh karena, Mahkamah Partai adalah satu-satunya institusi partai yang masih mempunyai kewenangan, hak, legal standing," kata juru bicara, Ahmad Hafiz Zawawi yang juga Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Golkar hasil Munas Riau di Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (12/1).
Turut hadir pula eksponen Golkar lainnya, antara lain Agun Gunandjar dan Ibnu Munzir. Mereka menilai, kondisi Partai Golkar kini bisa diibaratkan pasien yang terbaring koma dan bahkan mendekati sakratulmaut.
Sebabnya ketiadaan DPP yang sah setelah 1 Januari 2016. Ketiadaan DPP berarti partai hanya bisa dikatakan ada namun tak mungkin bisa beroperasi. Padahal, antara lain, pada Juni mendatang semua politik sudah harus siap dalam mendaftarkan calonnya di Pilkada serentak 2017.
Karena status MPG masih sah terdaftar di Kemenkumham, menurut Hafiz Zawawi, MPG diminta untuk segera bersidang dan melakukan penyelamatan partai. Misalnya, dengan membentuk DPP transisi (ad hoc) yang bertugas semata-mata menyelenggarakan munas.
Menjawab itu, anggota MPG Andi Mattalata mengungkapkan, permintaan tersebut merupakan laporan yang ketiga kalinya dari pihak-pihak yang berbeda. Pertama, laporan dengan nada permintaan yang sama datang dari Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Yang kedua datang dari para tokoh senior partai dengan dimotori Akbar Tandjung.
Namun, lanjut Andi, MPG belum bisa menanggapi atau menjawab ketiga laporan tersebut karena MPG harus melalui rapat terlebih dahulu. Sehingga, putusan MPG menjadi hasil rembug pendapat semua unsur MPG. Bagaimanapun, Andi memberi sinyal ada pihak yang tak ingin munas rekonsiliatif terjadi. Andi bungkam ketika ditanya kubu mana yang ia maksud.
"Saya bilang, kalau semua menghendaki munas, ya mereka enggak perlu lapor ke Mahkamah Partai. Saya enggak mau mengatakan itu. Itulah tugasnya hakim. Enggak boleh memberikan pendapat yang belum diputuskan," ujarnya.
Berdasarkan UU Nomor 2/2011, kata Andi, ada enam jenis sengketa partai politik. Namun, hanya satu di antaranya, yakni sengketa kepengurusan partai, yang harus diselesaikan via mahkamah partai yang bersangkutan. Putusan mahkamah partai pun final dan mengikat.
Dengan demikian, lima bentuk sengketa lainnya bisa saja berlarut-larut di pengadilan negeri. Semisal sengketa keanggotaan di partai atau pertanggungjawaban keuangan partai.
"Kalau sengketa kepengurusan itu berlarut-larut, tak putus di mahkamah partai, harus ke pengadilan, maka partai itu jeblok. Ibaratnya, mobil yang enggak bisa bergerak. Karena yang menggerakkan partai adalah pengurus. Karena itu, sengketa kepengurusan harus diselesaikan secepat mungkin," jelasnya.
"Karena itu, falsafah kerjanya Mahkamah Partai (MPG) bukan membunuh yang satu lalu menghidupkan yang lain. Tapi menyelesaikan sengketa dalam rangka membuat partai itu semakin solid," kata dia menyimpulkan.
Ditanya mengenai kapan MPG akan mengadakan rapat, Andi enggan menjawab. Menurut dia, semua unsur MPG harus memeriksa terlebih dahulu laporan yang diajukan eksponen Munas Riau hari ini, apakah sudah memenuhi persyaratan atau belum.
"Kita berharap Mahkamah Partai jadi untuk semua orang. Kalau saya katakan komentar yang mengecewakan salah satu pihak, nanti putusan Mahkamah Partai berpihak. Padahal, putusan Mahkamah Partai jauh lebih penting daripada sah dan tidaknya yang ada," katanya lagi.