Rabu 13 Jan 2016 13:29 WIB

Anggota MKD Asal Golkar Tegaskan Setya Belum Terbukti Langgar Etika

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Bilal Ramadhan
Politikus Golkar Setya Novanto (tengah) usai membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR pada sidang paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (18/12).(Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Politikus Golkar Setya Novanto (tengah) usai membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR pada sidang paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (18/12).(Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencananya, Kejaksaan Agung (Kejagung) akan meminta keterangan bekas ketua DPR RI Setya Novanto, hari ini (13/1). Hal itu terkait kasus dugaan pemufakatan jahat dalam upaya perpanjangan operasional PT Freeport Indonesia (PTFI).

Mengomentari pengusutan tersebut, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) asal Fraksi Golkar, Ridwan Bae berharap Kejagung profesional. Dia menegaskan, ranah pidana harus berbeda dengan ranah peradilan etika di MKD yang sarat kepentingan politik.

"Kita hanya berharap penegakan hukum dilakukan dengan sebenar-benarnya, bukan politisasi," ujar Ridwan Bae di gedung Nusantara II, kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/1).

Kasus tersebut sempat mencuat di MKD setelah Setya Novanto dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said. Ridwan menegaskan, pengusutan kasus tersebut di MKD sudah diberhentikan begitu Setya Novanto menyatakan mundur dari kursi ketua DPR RI.

Ridwan juga menekankan, serangkaian sidang MKD atas kasus "Papa Minta Saham" itu tak berujung pada putusan. "Kan tuntutan hanya (Setya Novanto) mundur. Belum ada keputusan pelanggaran di situ. Tapi bahwa menurut kami baru ada dugaan. Baru mau ditindaklanjuti itu dugaan, sudah mundur dia. Ya sudah," jelas dia.

Bila nanti disangkakan bersalah di ranah hukum pidana, Setya otomatis terbukti melanggar etika. Namun, menurut Ridwan, hal itu tak lantas mengharuskan ketua Fraksi Golkar itu hengkang dari keanggotaan di DPR. Sebabnya masih harus menunggu putusan tetap dari pengadilan.

"Bahwa Anda ada pelanggaran hukum secara otomatis melanggar etika. Tapi kebanyakan orang kalau sudah tersangka itu ada kebijakan-kebijakan partai atau punya sikap pribadi. Tapi secara hukum kalau tersangka kan masih praduga tak bersalah," tegasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement