REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq mempertanyakan kinerja intelejen terkait merebaknya organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dituding menghilangkan beberapa orang di berbagai daerah.
"Tentunya, publik mempertanyakan kinerja intelejen jika gerakan ini pada akhirnya dianggap merugikan masyarakat bahkan mengancam keamanan negara," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (13/1). Padahal, lanjut dia, sejak lama sudah muncul riak-riak penolakan di beberapa daerah.
Menurut dia, integritas dan lunturnya kepercayaaan publik terhadap negara ditengah merosotnya wibawa hukum seringkali jadi pemicu terjadinya disorientasi di tingkat masyarakat. "Saya melihat gejala Gafatar ini merupakan simpton dari kompleksitas krisis bangsa kita hari ini, yang membutuhkan kepemimpinan out of the box yang ditopang perubahan di level birokrasi," terangnya.
Diungkapkan Fajar, berdasarkan pengakuan Ketua Umum DPP Gafatar Mahful Muiz Tumanurung dalam Tabloid Gafatar edisi November 2014, organisasi ini berdiri 14 Agustus 2011 di Jakarta. Resmi deklarasi terbuka 21 Januari 2012. Mahful mengakui bahwa beberapa pendiri pernah terlibat dalam komunitas keagamaan yang sudah difatwa sesat oleh MUI tahun 2007.
Jika ditelusuri, kelompok yang dimaksud adalah Al Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq. "Orang ini kini mendekam di LP Cipinang karena kasus mengaku nabi baru. Mata rantai ini penting dicermati dalam membaca proses evolusi gerakan ini," ujarnya.
Yang menarik, tambah dia, organisasi ini mengusung mimpi kebangkitan kejayaan Nusantara dengan mengeksploitasi masa keemasan Atlantis, kerajaan Majapahit dan Demak. "Mereka fasih bicara Pancasila dan perjuangan kedaulatan pangan sebagai pijakan menuju Nusantara Jaya," kata Fajar.
Informasi yang didapat bahwa kelompok Gafatar menggunakan istilah-istilah yang biasa dipakai NII seperti hijrah dan pemerintah kafir namun mereka tidak memprovokasi pengikutnya melakukan kekerasan fisik.