REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Perihal rencana Pemerintah meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-undang Pemberantasan Terorisme dinilai perlu didalami kembali. Hal ini terutama menyangkut poin upaya pencegahan terorisme.
"Jangan sampai cara menangkap ini (preventif) menjadi celah pemerintah untuk bersikap otoriter," kata pegiat Hak Asasi Manusi (HAM) Todung Mulya Lubis di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (15/1).
Menurutnya, pemerintah dalam mengantisipasi aksi terorisme semestinya juga tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Pasalnya, jika penahanan terhadap seseorang hanya menggunakan dugaan semata tanpa disertai bukti telah melanggar hak dasar orang tersebut.
"Kalau asumsi begitu, banyak yang akan ditangkap, tapi kita tidak ingin, menjaga keamanan tapi sekaligus langgar prinsip dasar-dasar manusia," kata pria yang juga pengacara tersebut.
Ia pun mendukung penuh upaya pemerintah dalam hal memberantas terorisme, termasuk memberi hukuman setimpal kepada pelaku teror. Namun menurutnya, pemerintah tetap harus memperhatikan hak-hak dasar seseorang.
Lagi pula, kalau sampai upaya preventif tersebut dilakukan dengan mengabaikan hak dasar orang, bukan tidak mungkin akan menjadi preseden buruk ke depannya.
"Kita lihat ini 20 atau 30 tahun kemudian, yang tentu bahayanya adalah, membiarkan itu melahirkan ketakutan kemudian justru muncul otoriter, seperti zaman Orba lalu dinilai lebih aman, tapi rezim otoriter pada saat itu," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Pemerintah tengah meminta DPR untuk segera merevisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Revisi itu kata Luhut untuk mengusulkan penambahan pasal, sebagai upaya preventif atau langkah pencegahan.
Baca juga, BIN Ingin Bisa Tangkap dan Tahan Orang.