REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku teror dan aksi ledakan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, diperkirakan menggunakan dan memanfaatkan media sosial sebagai jalur komunikasi antarpelaku.
Pengamat terorisme Mujahidin Nur mengatakan bahwa para pelaku teror menggunakan jalur komunikasi yang sulit dideteksi langsung oleh aparat. "Kemungkinannya antara media sosial atau telegram karena pada dasarnya masih banyak alat komunikasi kelompok teroris yang sulit dideteksi oleh aparat. Saya kira dua alat itu yang dipakai oleh mereka," kata Mujahidin yang juga direktur The Islah Center tersebut, Ahad (17/1).
Selama ini, kata dia, pola komunikasi dengan menggunakan alat-alat serupa itu banyak digunakan oleh anggota ISIS. Menurut dia, pengamatan terhadap pola komunikasi pelaku teror menjadi hal yang krusial untuk diperhatikan sekarang ini sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi terjadinya aksi terorisme.
Apalagi, tanzhim atau organisasi teroris itu tertumpu pada jaringan, ideologi, dan orang sehingga untuk memahami praktik terorisme, maka harus dipahami pula pola komunikasi yang mereka lakukan.
"Sistem mereka adalah sistem sel yang terputus, komunikasi antara satu sel dan sel lainnya itu lazimnya dilakukan oleh pemimpin sel. Hal itu dilakukan melalui komunikasi langsung dengan melakukan PM (personal meeting), biasanya pertemuan dilakukan di tempat-tempat yang sudah mereka pelajari dan kuasai dengan baik," katanya.
Pola komunikasi yang dianggap paling aman oleh jaringan itu, yakni dengan memanfaatkan PM atau menggunakan perantara kurir apabila jaraknya relatif cukup jauh, misalnya antarprovinsi atau antarnegara.
Pola ini, kata dia, adalah pola paling aman dan kuno, tetapi masih digunakan sampai saat ini untuk menghindari tracking dan tapping, seperti apabila menggunakan media berteknologi modern.
Sistem komunikasi yang juga banyak digunakan oleh kelompok penebar aksi teror adalah memakai sandi.
"Akan tetapi, banyak kesempatan bahasa sandi ini mudah dibongkar dan diketahui oleh aparat, apalagi jika sandi dikirim melalui ponsel atau messenger," katanya.
Dalam beberapa waktu terakhir, kata dia, bahasa sandi banyak digunakan kembali dengan modifikasi, misalnya, dengan cara meninggalkan pesan atau bahasa pada website, blog, Facebook, Twitter, dan media sosial yang lain. "Seakan bahasa itu untuk sendiri, padahal itu adalah perintah atau pesan untuk operator lapangan," katanya.
Baca juga: Korban Tewas Serangan Bom di Sarinah Bertambah