REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, resmi mengundurkan diri dari jabatan pucuk pimpinan perusahaan tambang tembaga dan emas di Papua tersebut, Senin (18/1). Dalam suratnya kepada seluruh karyawan Freeport Indonesia, Maroef menyampaikan pesan masa kontrak kerjanya selama setahun sebagai Presdir Freeport Indonesia sudah berakhir.
Namun, tawaran perpanjangan dari pimpinan Freeport McMoRan, selaku induk usaha Freeport Indonesia, ditolak Maroef. "Saya telah berkirim surat pengunduran diri sebagai Presdir Freeport Indonesia (kepada pimpinan Freeport McMoRan)," kata Maroef dalam suratnya.
Dalam pesannya kepada karyawan pula, Maroef menyampaikan terima kasih atas kerja sama selama menjalankan tugas dan fungsi yang dipercayakan manajemen perusahaan induk sebagai Presdir Freeport Indonesia. Maroef menjabat Presdir Freeport Indonesia sejak awal Januari 2015.
Ia merupakan Presdir Freeport Indonesia berlatar belakang militer dengan pangkat terakhir Marsekal Muda (Purn) TNI AU. Sebelum menjabat Presdir Freeport Indonesia, Maroef adalah mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara periode 2011-2014.
Maroef yang meraih gelar Master of Business Administration dari Jakarta Institute Management Studies, menggantikan Rozik B Soetjipto. Pengunduran diri Maroef terjadi saat isu kelanjutan operasi Freeport di Papua tengah berlangsung, termasuk kasus rekaman pembicaraannya dengan mantan ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid.
Freeport sudah mengajukan perpanjangan kontrak dari seharusnya berakhir 2021 menjadi 2041. Namun, sesuai UU No. 4 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, pengajuan perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir.
Kontrak Freeport baru berakhir pada 2021. Dengan demikian, paling cepat pengajuan kontrak dilakukan pada 2019.
Sebelumnya mantan menteri keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier menyarankan pemerintah tidak membeli saham senilai 1,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 23,83 triliun yang ditawarkan Freeport. Fuad menilai harga saham perushaan asal Amerika Serikat itu tak ada lagi nilainya.
"Harganya (saham Freeport) itu sudah drop, hancur. Kalau pemerintah beli, BUMN pasti bangkrut dan rugi. Siapapun negara di dunia ini sudah enggak akan mau beli saham Freeport itu," kata Fuad disela-sela KB PII di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Ahad (17/1).
Fuad mengungkapkan saham Freeport terus menurun dari harga 60 dolar AS per sahamnya sejak 2012. Tahun lalu, harga saham Freeport pun drop menjadi delapan dolar AS. Saat ini harga saham perusahaan tambang terbesar dunia itu pun hanya 3,5 dolar AS per sahamnya.
Fuad mencurigai Freeport dengan kondisi yang sudah kepepetnya itu akan melepas semua sahamnya. Padahal, Freeport belum tentu dapat jaminan jika masih akan terus melakukan kegiatan penambangan setelah 2019 nanti.
Atas dasar itu kata Fuad tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk membeli saham tersebut. Sebab, Freeport di Amerika Serikat pun sahamnya sudah go public dan bisa diakses semua pihak.
"Itu sudah go public sahamnya di Wall Street. Siapa yang mau tanggug jawab nanti kalau sahamnya sudah tinggal satu dolar? Terus rugi, ga ada harganya. Jadi tunggu saja nanti sampai renegoisasi 2019 dengan syarat. Masa kita sekarang mau beli nyemplungin kaki beli saham itu," katanya.