REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk memberikan kewenangan bagi Polri melakukan penangkapan sementara kepada terduga teroris melaui revisi Undang-Undang. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, aturan itu akan diusung dalam revisi UU tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme (Antiteror). Konsepnya akan mencontoh beleid yang dimiliki Malaysia.
"Kita melihat Malaysia punya security act untuk keamanan dalam negeri. Kira-kira bentuknya seperti itu," katanya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/1). Dia berharap, revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dapat masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2016.
Luhut meyakini, pembahasan revisi UU tersebut tak akan berlarut-larut seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Menurut dia, DPR sudah menunjukkan keseriusannya terkait hal tersebut. Apalagi, Luhut menjelaskan, semua pimpinan lembaga tinggi negara telah sepakat bahwa Undang-Undang terorisme perlu direvisi.
"Tadi Pak Ketua DPR (Ade Komaruddin) mengatakan tahun lalu cuma tiga Undang-Undang (yang dihasilkan). Tahun ini beliau target paling tidak 30 sampai 37. Jadi itu menunjukkan suatu keseriusan," ucapnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (19/1).
Menurut Luhut, pemerintah menginginkan agar Kepolisian memiliki kewenangan melakukan penangkapan sementara untuk mendapatkan keterangan dari terduga teroris. Ini dilakukan demi menghindari serangan yang bisa jadi sudah mereka rencanakan.
Penangkapan sementara bisa berlangsung sepekan atau dua pekan. Namun begitu, sambung dia, tentu ada kriteria yang harus terpenuhi sampai boleh dilakukan penangkapan sementara.
Luhut menyebut, proses untuk merevisi Undang-Undang Terorisme masih cukup panjang. Pemerintah harus mempertimbangkan sejumlah hal, misalnya bagaimana agar penangkapan sementara tidak melanggar hak asasi manusia. Selain itu, harus dikaji pula kriteria-kriteria sampai boleh dilakukan penangkapan sementara.