REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, menilai rencana revisi undang-undang (UU) antiterorisme merupakan langkah yang terlalu jauh. Evaluasi kinerja lembaga antiterorisme dianggap lebih mendesak dilakukan.
"Problemnya justru kepada evaluasi kinerja antarlembaga yang selama ini bertugas memberantas terorisme. Evaluasi lebih kinerja mereka lebih penting," tegas Julius ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/1).
Menurutnya, pemberantasan teror bukan hanya menjadi tupoksi Polri. Peran BIN, BNPT, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Agama belum tampak maksimal.
Selain itu, pihaknya menilai jika peran Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam) masih minim dalam pemberantasan terorisme. Julius berpendapat, pemberantasan teroris saat ini hanya terfokus pada aksi penindakan.
Dia mencontohkan adanya penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) Antiteror. Usai ditangkap, pihak kepolisian lantas mempublikasikan profil terduga teroris.
"Jika begitu, masyarakat tidak bisa melihat informasi sejak kapan atau bagaimana kegiatan teror berlangsung. Yang lebih dibutuhkan adalah upaya deradikalisasi kelompok-kelompok radikal secara sistemik, bukan hanya penindakan," jelas Julius.
Pihaknya juga menilai poin penambahan wewenang menangkap terduga teroris saat terindikasi melakukan aktivitas tertentu terlalu berlebihan. Julius memberikan contoh ketika seseorang punya senjata api, peluru atau pernah berhubungan dengan terduga teroris."Terlalu jauh jika ada orang yang punya senjata api atau pernah teleponan dengan Abu Bakar Baasyir bisa ditindak oleh aparat," tuturnya.
Sampai saat ini, pemberantasan teroris di Indonesia masih mengacu kepada UU Nomor 15 Tahun 2003 yang menguatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Beleid itu keluar pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Revisi UU Pemberantasan Terorisme sudah digaungkan berbagai badan pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Namun, wacana itu kembali gencar digaungkan setelah peristiwa ledakan di Jalan MH Thamrin, Kamis (14/1) pekan lalu.