REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor IV UHAMKA Zamah Sari mengatakan, banyak mahasiswa yang akhirnya tersesat dalam hidupnya. Misalnya saja Ketua Gafatar merupakan mahasiswa S3 di sebuah universitas dan Bahrun Naim yang menggerakkan teroris juga jebolan perguruan tinggi.
"Yang ingin saya sampaikan, coba kalau lulusan perguruan kita punya tradisi riset yang kuat, sikap beragama basisnya bukan emosi saja tapi data. Kalau basisnya data, saya pikir potret Islam di Indonesia akan berbeda," katanya Sabtu, (23/1).
Agama itu, kata dia, sangat terkait dengan dimensi emosional seluruh manusia. Makanya beragama itu harus diimbangi dengan logika berbasis riset. "Kita harus memiliki rasionalitas dalam beragama. Kalau hal itu tak menjadi tradisi, kita bisa terseret dalam radikalisme, kekerasan atas nama agama, bahkan terorisme atas nama agama."
Muhammadiyah, ujar Zamah Sari, sejak dulu basisnya riset lewat dunia pendidikan. "Kami sangat mengutuk peristiwa Bom Thamrin beberapa waktu lalu, Indonesia harus mengedepankan pembangunan peradaban yang lebih baik ke depan."
Pendidikan, jelas dia, harus menjadi strategi kebudayaan. Pendidikan agama harus mengajarkan dan memberikan pemahaman kalau Indonesia memiliki keanekaragaman.
Ketertutupan merupakan penyebab utama radikalisme atas nama agama. Merasa paling benar sendiri, absolutisme, itu semua menutup dialog yang seharusnya dibangun untuk mencari kebenaran.
Baca juga, Revisi UU Terorisme Dinilai Bisa Memanjakan BIN.