REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Kelompok gay dan lesbian biasanya berpikiran bahwa mereka tidak bisa disembuhkan. Pasalnya mereka merasa hal tersebut bukanlah suatu penyakit sehingga tidak perlu dismebuhkan.
Pelaku gay dan lesbian merasa mendapat dukungan ketika mereka berada dalam komunitas tersebut. Hal ini membuat mereka nyaman menganggap biasa saja atas apa yang mereka lakukan. Kelompok gay dan lesbian ini tidak mempunya keinginan keluar dari perilaku homoseksual. “Semacam ingin memberi penguatan sosiologis lewat komunitasnya bahwa mereka tidak sendiri dan tidak salah,” ujar Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Nasional (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Mujib saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (22/1).
Namun bukan berarti semua pelaku gay dan lesbian tidak ingin keluar masalah orientasi seksual tersebut. Sebagian dari mereka ingin sembuh. Salah seorang klien Mujib misalnya, sangat mempunyai keinginan keluar dari perilaku homoseksual. Klien tersebut mengalami penderitaan luar biasa. Bahkan dia sempat berujar pada Mujib, seandainya ‘penyakit’ saya ini diakibatkan karena hormon dan bisa dikumpulkan di tangan kiri saya, maka saya rela tangan kiri saya dipotong demi normal kembali.
Ini membuktikan betapa sulitnya keluar dari gangguan orientasi seksual. Sebagian mereka mempunyai keinginan kuat untuk terbebas dari perilaku tersebut. Namun sebagiannya lagi justru memperkuat eksistensinya lewat cara bergabung dengan komunitas gay dan lesbian.
Sebuah poster muncul di dunia maya menghebohkan sejumlah pengguna media sosial, Kamis (21/1). Dalam poster tersebut tertulis jika organisasi Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) menawarkan jasa konseling untuk kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Poster itu juga memastikan teman-teman tidak sendirian ketika melalui masa-masa sulit. Dalam kampanye di poster tersebut, dituliskan bersedia membantu pertanyaan dan menjawab tentang LGBT.
Menanggapi hal tesebut, Mujib mengatakan SGRC tidak memberi terapi bagi para LGBT, melainkan lebih memberi penguatan secara sosiologis. Mereka hendak menyampaikan pesan bahwa LGBT tidak perlu dikhawatirkan. “Mereka tidak memberi terapi, buat apa, lha mereka merasa tidak sakit,” kata dia.