REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok konseling komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) tetap harus mendapatkan apresiasi. Terlebih, keberadaannya untuk mencegah diskriminasi bagi mereka yang mengalami penyimpangan orientasi seksual.
Namun, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Cholil Nafis mengatakan, konseling LGBT harus bisa meluruskan dan mengarahkan kembali orientasi seksual yang benar bagi pelaku LGBT. Menurutnya, akan menjadi permasalahan bila kelompok konseling LGBT justru membiarkan perilaku menyimpang tersebut, apalagi mengganggap normal orientasi seksual seperti itu.
"Bahayanya kalau kelompok konseling ini mengganggap penyimpangan seksual itu adalah sesuatu yang normal," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (25/1).
Diakui dia, faktanya saat ini di Indonesia tidak bisa dibantah fenomena LGBT berkembang di generasi muda dan gerakan yang mendukung juga mulai bermunculan. Pihak-pihak yang ingin memberikan konseling pelaku LGBT, khususnya antidiskriminasi dan penyembuhan orientasi seksual, kata dia, haruslah mendapatkan perhatian dan dukungan.
Konseling LGBT ini berperan besar, tetapi ia menganggap itu tidak cukup. Pelaku LGBT, kata dia, memang harus diberikan penyadaran bahwa orientasi seks pada sesama jenis adalah ketidaknormalan.
Konseling LGBT juga harus perbanyak minta bimbingan pada tokoh agama dan konsultasi medis. Sebaliknya, ia mengingatkan bila konseling LGBT hadir, tapi dengan tujuan ingin memberikan kesan normal perilaku menyimpang ini, ini akan menjadi masalah di masyarakat.
Beberapa hari terakhir, nama SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia) menjadi perbincangan publik di media sosial. SGRC UI mengklaim sebagai organisasi yang memberikan konseling dan edukasi bagi pelaku LGBT. SGRC UI juga membantah sebagai organisasi yang melindungi dan menyebarkan perilaku orientasi seksual menyimpang.