REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pada Ahad (25/1) malam waktu Amerika Serikat, salah satu kandidat calon presiden, Hillary Clinton menyatakan tidak sepaham dengan provokasi Donald Trump. Di Democratic Town Hall, Amerika Serikat, Clinton menjawab keraguan veteran Muslim Angkatan Udara Amerika Serikat, Erum Tariq-Munir.
Menjawab pertanyaan veteran berhijab tersebut, Clinton menganggap provokasi dan diskriminasi terhadap Muslim oleh calon presiden lain itu termasuk bagian paling menyedihkan dari masa kampanye saat ini. Clinton tampak menahan emosinya untuk melanjutkan jawaban.
“Tidak hanya ofensif, saya pikir pernyataan tersebut juga berbahaya. Kita tidak bisa membiarkannya. Kita harus bangun dan katakan ‘setiap orang di negara ini layak diperlakukan dengan hormat’,” jelasnya.
Persoalan ISIS dan radikalisme pun disinggung dalam acara tersebut. Menurut Clinton, Amerika Serikat butuh membangun sebuah koalisi beranggotakan negara-negara Muslim. Namun dengan Islamofobia saat ini, membangun koalisi semacam itu sulit dilakukan.
Selain masalah Islamofobia dan radikalisme, Clinton juga mengungkapkan ia ingin menjadi presiden bagi semua orang. Termasuk untuk kalangan Partai Republik yang mendukung Trump. “Saya ingin menjadi presiden untuk semua orang, dan saya percaya hal itu memang seharusnya dilakukan oleh seorang presiden, di manapun ia berada,” tandas mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat tersebut.