REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah di dalam Paket Kebijakan Jilid IX-nya telah menetapkan perluasan wilayah impor sapi dari yang selama ini berbasis negara menjadi berbasis zona.
Atas keputusan tersebut, Direktur Bincang-Bincang Agribisnis (BBA) sekaligus Ketua Pelaksana Harian Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Yeka Hendra Fatika meminta agar pemerintah dapat memastikan produk impor yang nantinya masuk bebas pemyakit mulut dan kuku (PMK).
"Kebijakan impor sapi saat ini memang sangat diperlukan karena faktanya kita masih kekurangan pasokan," kata dia kepada Republika, Kamis (28/1).
Jika perlu, lanjut dia, impor sapi dari seluruh negara pun tidak apa-apa agar stabilisasi pasokan dengan kebutuhan menjadi ideal. Namun ia menekankan soal persyaratan impor yakni harus dari negara yang bebas PMK.
Jika pada akhirnya dibuka gerbang impor bagi negara yang belum bebas PMK, konsekuensinya pemerintah harus menyiapkan infrastruktur penjagaan agar tidak bobol PMK. Kesiapan tersebut di antaranya laboratorium, dokter hewan dan dana tanggap darurat.
Menurutnya, tidak masalah jika Indonesia hanya mengimpor sapi dari Australia. Toh negara tersebut sudah jelas jaminan bebas PMK serta dari segi jarak dan distribusi lebih kompetitif.
"Kerja sama dengan Australia jangan diartikan mau memonopoli, tapi memang Australia satu-satunya negara yang bisa menjamin bebas PMK," ujarnya.
Sejumlah negara juga ada yang dinyatakan telah bebas PMK. Namun mereka tidak kompetitif dari segi jarak. Negara tersebut di antaranya Brazil, Argentina dan Selandia Baru.
Oleh karena itu ia meminta pemerintah Indomesia realistis. Dengan mengupayakan peningkatan impor sapi dari sejumlah negara, secara tidak langsung pemerintah mengakui data soal sapi bermasalah.
Kerja sama impor sebaiknya dibangun dengan negara yang sudah dinyatakan bebas PMK dalam jangka panjang. Dalam proses tersebut, Indonesia tetap bisa berkonsentrasi meningkatkan populasi sapi lokal.