REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Ratusan mantan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Moton Panjang, Desa Antibar, Mempawah, diusir oleh warga. Permukiman mereka pun juga dibakar.
Tri, salah seorang mantan Gafatar dan korban pengusiran di Mempawah, tidak keberatan jika harus kembali lagi tanah asalnya. Sebab, kondisi di Mempawah sendiri sudah tidak aman bagi dirinya dan sahabat lainnya.
"Kalau ngusir, kan sebenarnya bisa baik-baik," ujarnya kepada Republika.co.id, di Bekangdam XII Tanjungpura, Jumat (29/1).
Tri merupakan asli Depok, Jawa Barat. Tri datang ke Mempawah sejak dua bulan lalu bersama suami dan tiga anaknya. Tri datang ke Mempawah bersama dua kepala keluarga lainnya. Tri kemudian membeli tanah di Mempawah seluas empat hektare. "Kami beli itu tanah, tapi uangnya patungan," kata Tri.
Namun, Tri enggan menjelaskan secara perinci proses sampai memutuskan untuk hijrah ke Kalimantan Barat. Tri hanya mengaku ke Kalbar atas solidaritas sesama sahabat mantan Gafatar.
Memilih Mempawah sebagai tujuan, Tri mengaku hanya untuk bertani. Alasan tersebut dikemukakan oleh semua mantan Gafatar yang pergi ke Kalbar. "Untuk mendukung program pemerintah, katanya untuk mempersiapkan lumbung pangan," ucap Tri memberikan alasan pergi ke Kalbar.
Namun, Tri menegaskan, menyayangkan pengusiran dengan cara tidak baik. Menurut cerita Tri, pembakaran terjadi sekitar pukul 13.00 WIB. Akan tetapi, sebelum peristiwa pembakaran, sekitar 500 orang mengepung permukimannya pukul 01.00 WIB.
"Mereka menggertak, kami lari ke Betang (tempat berkumpul," kata Tri.
Pada Rabu (27/1), Republika.co.id mendatangi permukiman yang dibakar massa. Sekitar empat jam lamanya dari kota Pontianak saya baru sampai di permukiman tersebut. Permukiman tersebut dibangun di tengah-tengah lahan dengan perkiraan luas ribuan hektare.
Permukiman tersebut jauh dari rumah warga yang padat penduduk. Rumah warga yang terdekat dengan permukiman tersebut berjarak sekitar satu kilometer. Dari jarak tersebut, saya hanya melihat 10 rumah dengan jarak yang tak berdekatan.