REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tim peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) merilis Barometer Mala-Konstitusi 2015. Tim Pusako mengungkapkan, sepanjang tahun 2015, lembaga yudikatif melakukan banyak penyimpangan hukum.
Berdasarkan cacatan, lembaga yudikatif melakukan penyimpangan hukum sebesar 33 persen, diikuti pelanggaran HAM sebesar 24 persen, kemudian sosial dan politik yang masing-masing sebesar 19 persen.
"Hal itu kembali menunjukan, banyak lembaga negara yang tidak peka terhadap konsep HAM yang universal tersebut," kata salah seorang peneliti Pusako, M Nurul Fajri usai merilis Barometer Mala-Konstitusi 2015 di Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar), Ahad (31/1).
Dikatakannya, sebenarnya pelanggaran yang dilakukan lembaga yudikatif sangat kecil. Menurutnya, hal tersebut disebabkan, pertama, lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi (MK) tidak banyak melakukan kewenangannya sepanjang 2015. Karena, perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah baru dimulai pada 2016.
Kedua, pelanggaran konstitusi jarang terjadi, disebabkan lembaga yudikatif dilindungi dengan pasal-pasal contempt of court (penghinaan peradilan). Jika langkah-langkah peradilan dianggap salah maka komentar terkait hal tersebut dapat berujung kepada pidana.
Ketiga, penyimpangan lembaga yudikatif dalam putusannya, biasanya hanya dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan yang mendaftarkan perkaranya melalui proses persidangan. Sehingga, hanya orang-orang tertentu (yang berperkara) yang dapat merasakan telah terjadinya pelanggaran konstitusi oleh lembaga yudikatif.
Nurul mengungkapkan, sebanyak tiga kasus pelanggaran oleh lembaga yudikatif terjadi pada Januari 2015. Perkara tersebut, berkaitan dengan upaya Mahkamah Agung (MA) untuk menghapuskan peran Komisi Yudisial yang berwenang mengawasi para hakim. Terutama, dalam bidang etika dan moralitas hakim.
Selain itu, MA juga melakukan manuver dengan menyatakan, peninjauan kembali (PK) perkara hanya dapat dilakukan sekali. Padahal putusanMahkamah Konstitusi (MK) sebagai penafsir tunggal konstitusi, menyatakan bahwa PK dapat dilakukan berkali-kali sepanjang didapat alat bukti baru. Tindakan MA tersebut, telah menyebabkan lembaga peradilan bertindak menyimpang dari 'aturan main' yang ditentukan UUD 1945.
Menurut Nurul, putusan lembaga yudikatif juga kerap berdampak kepada bidang ekonomi. Ia mencontohkan, ketika MA memutuskan petani dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Para petani menganggap keputusan itu, membebani perekonomian.
"Hal ini menunjukan, pelanggaran konstitusi yang dilakukan lembaga yudikatif meskipun sedikit dapat menyebabkan rusaknya satu tatanan perekonomian, seperti kasus tersebut," jelasnya.
Ia mengatakan, pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh lembaga yudikatif adalah dampak yang diterima menyentuh bidang perlindungan HAM sebesar enam kasus pada Pasal 28C dan Pasal 28D.
Nurul menambahkan, kepekaan terhadap HAM, merupakan bagian penting yang seharusnya diutamakan oleh lembaga yudikatif. Sebab para pencari keadilan mengajukan perkaranya ke MA dan MK agar dapat memperoleh jaminan HAM melalui putusan lembaga yudikatif.
Lembaga yudikatif merupakan penentu sebuah negara akan menjadi negara demokrasi yang matang melalui putusan-putusan para hakim. "Tanpa itu, sulit akan tercipta rasa keadilan di tengah masyarakat," lanjutnya.