REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan sisa pengungsi eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dipulangkan dari Kalimantan hari ini masih mendiami sejumlah tempat penampungan di Jakarta. Di antaranya adalah Panti Sosial Bina Insan (PSBI) Bangun Daya 2 Cipayung dan Gedung Pusat Olahraga Persahabatan Korea-Indonesia (POPKI) Cibubur, Jakarta Timur.
Ada banyak cerita menarik yang dapat digali dari para pengungsi tersebut. Salah satunya seperti penuturan mantan anggota Gafatar bernama Melki Syadiq (42 tahun). Kepada Republika.co.id, pria berdarah Minang itu mengaku terpaksa meninggalkan asetnya yang bernilai Rp 1 miliar lebih di Melawi, Kalimantan Barat, setelah disuruh "pulang" oleh pemerintah pada pekan terakhir Januari lalu.
"Kami pindah ke Kalimantan hanya buat bertani dan berdagang, bukan untuk merusuh. Tapi nyatanya kini kami harus kehilangan semuanya," kata Melki saat ditemui di Jakarta, Senin (1/2).
Melki mengisahkan, sebelum pindah ke Kalimantan, ia dan keluarganya menetap di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Di kota itu, ia menekuni profesi sebagai anak buah kapal (ABK) pada sebuah kapal tanker milik asing. Di kota itu pula, Melki mulai berkenalan dengan Gafatar. Ia menjadi anggota organisasi tersebut selama 1,5 tahun, yakni sepanjang 2012-2013.
Pada November 2015, ia memutuskan untuk pindah bersama istrinya ke daerah Melawi di Kalimantan Barat, dan meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai ABK. Sebelum hijrah ke tanah Borneo, Melki lebih dulu menjual seluruh asetnya di Tanjungpinang. Di antaranya berupa satu unit rumah, kendaraan pribadi, dan barang-barang lainnya.
Hasil penjualan harta bendanya itu kemudian diserahkan kepada kelompok tani bentukan para mantan pengikut Gafatar untuk dijadikan sebagai modal hidup mereka di Kalimantan. "Uang itu kami gunakan untuk membeli lahan pertanian seluas puluhan hektare di Melawi, membangun rumah, membeli pupuk dan bibit tanaman," katanya.