REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Larangan yang diperketat dan menurunnya bantuan internasional menyebabkan pengungsi wanita asal Suriah di Lebanon lebih rentan terhadap eksploitasi, termasuk pelecehan seksual, kelompok hak asasi Amnesti Internasional melaporkan, Selasa (2/2).
Disampaikan sebelum konferensi donatur utama untuk Suriah di London pada pekan ini, laporan itu mendesak dukungan finansial yang lebih besar dan lebih banyak kesempatan pemindahlokasian para pengungsi Suriah dari komunitas internasional.
Amnesti mengatakan 70 persen dari lebih dari satu juta orang pengungsi Suriah di Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan. Para pengungsi itu yang telah menerima bantuan menghadapi pemotongan saat dana dari donatur kepada PBB dan terus menurun dari yang dibutuhkan.
Amnesti menyebutkan para pengungsi terutama para wanita menghadapi eksploitasi. Laporan itu mengatakan banyak di antaranya dibayar dengan upah yang menyedihkan, harus membayar uang sewa yang sangat tinggi dan menghadapi pelecehan seksual dari para atasan mereka bahkan dari aparat polisi.
"Mereka dibayar dengan upah sedikit atau tinggal di rumah yang kotor, bocor dan penuh tikus, kurangnya stabilitas keuangan menyebabkan kesulitan yang besar terhadap para pengungsi wanita dan mendorong mereka yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan mereka," ujar peneliti gender dari Amnesti, Kathryn Ramsay.
Larangan yang lebih diperketat telah menyebabkan banyak pengungsi tidak mampu untuk memperbarui izin tinggal mereka dan artinya mereka tinggal di Lebanon secara ilegal, membuat mereka enggan melaporkan pelecehan yang mereka alami.
Lebanon telah berjuang untuk mengatasi arus masuk para migran yang sekarang menjadi seperempat dari empat juta jiwa penduduk negaranya, dan pada tahun lalu mulai mempersulit para pengungsi Suriah itu untuk tinggal.
Kelompok hak asasi membenarkan adanya tekanan yang disebabkan oleh krisis pengungsi di Lebanon, namun mendesak pemerintah untuk meringankan larangannya.