Selasa 02 Feb 2016 22:55 WIB

KIP: Publik Harus Hormati Sikap Polisi di Kasus Mirna

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Bayu Hermawan
Pra-Rekonstruksi Kematian Mirna: Anggota Reskrim Polda Metro Jaya melakukan pra-rekonstruksi di Cafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta, Senin (11/1). Pra-rekonstruksi dilakukan dengan memeriksa ulang saksi-saksi kasus kematian Wayan Mirna Salihin.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pra-Rekonstruksi Kematian Mirna: Anggota Reskrim Polda Metro Jaya melakukan pra-rekonstruksi di Cafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta, Senin (11/1). Pra-rekonstruksi dilakukan dengan memeriksa ulang saksi-saksi kasus kematian Wayan Mirna Salihin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), Abdulhamid Dipopramono, menyatakan, publik harus menghormati keputusan polisi terkait seluruh hasil penyelidikan dan penyidikan kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, polisi sebenarnya juga memiliki hak untuk tidak membuka keseluruhan informasi dari suatu kasus. Ketentuan tersebut seperti diatur dalam Pasal 17 (a) UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Dalam pasal itu, polisi dijamin haknya untuk tidak membuka informasi suatu kasus jika dianggap bakal mengganggu proses penegakan hukum.

''Polisi dijamin untuk tidak membuka informasinya jika dipertimbangkan bahwa membuka informasi tersebut dapat mengganggu proses penegakan hukum, seperti proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara. Informasi juga harus ditutup apabila dibuka akan mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana,'' kata Abdulhamid kepada Republika.co.id, Selasa (2/2).

Kendati begitu, Abdulhamid mengakui, jika publik tentu akan memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap kasus meninggalnya Mirna. Pasalnya, kasus ini menyangkut sesuatu yang tidak wajar dan terjadi di tempat umum. Terlebih, publik saat ini sudah bisa mengakses informasi dari berbagai model sumber informasi, mulai dari media massa seperti televisi, radio, koran, dan situs berita, ataupun dari media sosial.

Namun, rasa ingin tahu publik tersebut ada batasnya dan polisi harius bisa membatasi diri jika itu terkait kepentingan penegakan hukum dan tujuan lebih besar dari pengungkapan kasus. Polisi, ujar Abdulhamid, jangan tergoda melayani informasi kepada publik, jika informasi itu belum akurat dan dapat mengganggu proses penegakan hukum, atau bahkan dapat melanggar hukum itu sendiri.

''Apalagi jika karena individu-individunya yang tergoda untuk mendapatkan popularitas. Keterangan polisi juga jangan bersifat oponi dari pejabat-pejabatnya, tapi harus didasarkan fakta hasil penyelidikan dan penyidikan," jelasnya.

Lebih lanjut, Abdulhamid menyarankan, polisi untuk berhati-hati dalam menyampaikan informasi ke publik terkait kasus yang masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

''Di satu sisi bagus jika polisi melayani rasa ingin tahu publik lewat keterangannya kepada media untuk menghindari kesimpangsiuran informasi yang tidak terverifikasi. Tapi di sisi lain, polisi tetap harus hati-hati dan cermat untuk tujuan pengungkapan kasus secara tuntas,'' katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement