Rabu 03 Feb 2016 10:07 WIB

Pemulangan Ribuan Eks Gafatar Munculkan Masalah Kependudukan

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Achmad Syalaby
 Barang-barang eks Gafatar siap di angkut menuju daearahnya masing-masing di Balai Pemberdayaan Sosial Bina Remaja (BPSBR) Dinas Sosial Jabar di Cibabat, Kota Cimahi, Senin (1/2).
Foto: Republika/ Edi Yusuf
Barang-barang eks Gafatar siap di angkut menuju daearahnya masing-masing di Balai Pemberdayaan Sosial Bina Remaja (BPSBR) Dinas Sosial Jabar di Cibabat, Kota Cimahi, Senin (1/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Ribuan mantan pengikut Gafatar telah dipulangkan kembali ke daerah asal masing-masing. Namun Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Prof. Dr. Muhadjir Darwin mengatakan pemulangan eks Gafatar tersebut menimbulkan sejumlah persoalan baru. Salah satunya permasalahan administrasi kependudukan (aminduk).

Sebagian besar dari mereka telah mencabut status kependudukan di wilayah asalnya. Beberapa bahkan telah mengantongi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru di Kalimantan Barat. “Tindakan pemulangan oleh pemerintah kemudian memaksa mereka untuk mengalihkan status kependudukannya lagi,” tutur Muhadjir, Rabu (3/2).

Ia menyampaikan, terlepas dari persoalan ideologi atau kepercayaan, mobilitas warga eks Gafatar merupakan salah satu bentuk migrasi yang kembali menunjukkan betapa kakunya sistem pencatatan KTP di Indonesia. Sistem KTP di Indonesia dibangun berdasarkan asumsi bahwa keberadaan penduduk bersifat statis. Padahal mobilitas masyarakat saat ini semakin tinggi.

Muhadjir mencontohkan sistem pencatatan identitas pada penduduk Amerika Serikat yang efektif, efisien, serta mampu mengakomodasi mobilitas penduduknya. Di negara paman sam tersebut, identitas seorang warga berupa social security number (SSN). Sementara jika orang tersebut berpergian ke luar negeri, maka identitasnya adalah dokumen passport. Selain itu, SSN juga merupakan jaminan keamanan warga negara secara sosial.

“Bagi para migran pun diberlakukan hal yang sama,” papar pakar Administrasi Negara ini. Ia mengatakan, meski seseorang tidak tercatat sebagai warga negara dan hanya menetap sementara waktu mereka harus memiliki SSN. Baik karena urusan pekerjaan dan bisnis, tugas belajar, dan lain-lain. 

Dengan begitu, data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu. Sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut. Bahkan memantau mobilitasnya. SSN bisa digunakan untuk semua urusan administratif, seperti di bank, kantor, pemerintahan, sekolah, bahkan untuk keperluan pemilihan umum.

SSN melekat pada warga negara. Sehingga kemanapun seseorang berpergian, termasuk melintasi batas negara bagian, ia akan tetap menggunakan nomor identitas yang sama. Berbeda dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia yang melekat pada keterangan tempat tinggal. Saat seseorang berpindah tempat, meski masih di kabupaten/kota yang sama, dia tetap harus mengurus KTP yang baru.

“Misalnya pada orang-orang penglaju, mereka bekerja di suatu kota, sebut saja Jakarta, namun rutin pulang ke daerah asal tiap bulannya. Di Jakarta dia tetap dianggap penduduk ilegal karena tidak punya KTP Jakarta,” kata Muhadjir.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement