REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pengadilan Tinggi Australia telah memutuskan bahwa penahanan pengungsi di lepas pantai adalah legal, Rabu (3/2). Itu adalah sebuah keputusan yang menantang kritik kelompok-kelompok HAM dan PBB.
Keputusan ini akan membuat 267 pencari suaka yang berada di Australia dideportasi kembali ke pulau Pasifik, Nauru. Mereka termasuk 39 anak-anak dan 33 bayi yang lahir di Australia.
Kasus ini bermula ketika pengacara seorang perempuan Bangladesh mengatakan penahanannya di Nauru telah didanai, diizinkan, dan dikendalikan oleh pemerintah Australia. Saat itu, tidak ada peraturan konstitusi yang mengaturnya.
Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengatakan, keputusan pengadilan cukup signifikan. "Pemerintah akan menjaga perbatasan Australia dan menghentikan penenggelaman di laut," katanya dikutib Aljazirah.
Menurutnya, pemerintah telah bertindak sangat menyakinkan untuk menghentikan perdagangan kriminal. Meski demikian, keputusan Australia ini mengundang kritik, termasuk dari UNICEF.
Badan PBB untuk anak-anak ini mengatakan, Australia tidak memiliki sandaran tanggung jawab moral untuk melindungi hak-hak anak sesuai hukum HAM internasional. "Ini tidak beralasan bagi pemerintah Australia untuk mengalihkan tanggung jawab terhadap sekelompok anak dan keluarganya yang punya banyak kebutuhan," kata pernyataan.
UNICEF Australia juga peduli pada anak-anak yang lahir di Australia dan akan dikirim ke Nauru tersebut. Mereka mengatakan, kebijakan imigrasi ini telah berimbas pada anak-anak dan keluarganya.
Amnesty Internasional mengatakan, semua pencari suaka di Nauru menderita efek kondisi hidup yang kejam. "Amnesty menyeru PM Turnbull melakukan hal yang benar dan menutup pusat penahanan Nauru secara permanen," katanya.
Amnesty meminta pencari suaka direlokasi ke komunitas Australia. "Pusat proses Nauru membawa orang yang rentan dalam risiko karena dioperasikan dengan kurang transparansi," kata Koordinator Amnesty Australia untuk pengungsi, Graham Thom.