Jumat 05 Feb 2016 08:30 WIB

Lengkap, Fatwa MUI Soal Homoseksualitas

Salah satu fatwa MUI (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Salah satu fatwa MUI (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir 2014 mengeluarkan fatwa soal homoseksualitas, sodomi, dan pencabulan. Ada beberapa poin yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI soal masalah ini. Pertama, penegasan jika hubungan seksual yang sah hanya boleh dilakukan suami istri. MUI menyebut, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual adalah bukan fitrah, melainkan kelainan yang harus disembuhkan.

Kemudian, menegaskan hukum homoseksual, MUI memfatwakan pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan tersebut merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik had maupun takzir oleh pihak yang berwenang.

Pelampiasan hasrat seksual lewat sodomi dikenakan had setara dengan zina. Sementara, pelampiasan hasrat seksual sesama jenis selain dengan sodomi hukumannya dikenakan takzir.

Had maksudnya hukuman dalam pidana Islam yang jenis hukumannya sudah ditentukan oleh syarak. Sementara, takzir adalah hukuman yang belum ditentukan jenisnya oleh syariat. Penentuan hukuman takzir harus dilakukan oleh pengadilan.

Melegalkan aktivitas seksual sesama jenis pun dijatuhi hukuman haram. MUI seperti fatwa yang lain juga memberi solusi dan rekomendasi.

Rekomendasi pertama yang diberikan adalah DPR dan pemerintah diminta untuk menyusun perundang-undangan yang mengatur larangan perbuatan homoseksual. Kemudian, pemerintah harus merehabilitasi pelaku penyimpangan seksual sebagai wujud tanggung jawab sosial untuk penyembuhan.

Pemerintah juga diminta melakukan pencegahan terhadap meluasnya penyimpangan orientasi seksual. Artinya, kalau ada orang yang terindikasi memiliki sifat lelaki yang sifatnya keperempuan atau perempuan yang kelaki-lakian itu, ada langkah-langkah penyembuhan. Pengembalian pada fitrah kemanusiaan.

Hal lainnya yang menjadi rekomendasi MUI, yakni pemerintah tidak boleh mengakui pernikahan sesama jenis. Hal tersebut disebabkan bertentangan dengan prinsip-prinsip bernegara.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement