REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sukarni menyebut, kebijakan pangan pemerintah yang salah menyulut keberadaan kartel. Kesalahan tersebut diawali dengan tak adanya data yang valid soal pasokan dan kebutuhan pangan. "Asbabunuzul kesemrawutan pangan kita saat ini karena data kita tidak jelas dan kebijakannya jadi salah," tuturnya, Jumat (5/2).
Kesalahan tersebut lantas dimanfaatkan pemburu rente untuk melakukan kartel. Pola kebijakan pemerintah dengan rezim kuota impor juga menjadi tidak tepat karena malah dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang terkoordinasi oleh pengusaha tertentu.
Sebelumnya, KPPU dalam rilis melaporkan telah menyelesaikan penyelidikan terkait dugaan kartel pengaturan stok ayam yang dilakukan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang budidaya ayam. Dalam proses penyelidikan yang dilakukan, tim penyelidik telah menemukan alat bukti yang cukup terkait dengan dugaan pelanggaran Pasal 11 UU No 5/1999.
(Baca Juga: 12 Perusahaan Diduga Lakukan Kartel Ayam).
Hasil penyelidikan telah dilaporkan ke Komisi pada rapat komisi Selasa (2/2) lalu. Komisi pun menyetujui laporan tersebut dilanjutkan ke tahap persidangan. Dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh 12 Pelaku Usaha yaitu PT Charoen Pokphand Jaya Farm, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Satwa Borneo, PT Wonokoyo Jaya Corp, PT CJ-PIA (Cheil Jedang Superfreed), PT Malindo, PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, CV. Missouri, PT Ekspravet Nasuba, PT Reza Perkasa dan PT Hybro Indonesia.
Perkara tersebut merupakan inisiasi KPPU bukan berdasarkan laporan masyarakat. Diawali dengan adanya pemberitaan terkait adanya kesepakatan pengafkiran Indukan Ayam (Parent Stock) yang dibuat oleh beberapa perusahaan tersebut yang mana kesepakatan tersebut juga diketahui oleh Pemerintah yakni Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan.
Dalam penyelidikan diketahui harga jual DOC mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari harga jual DOC sebelum dilakukan pengafkiran parent stock. Hal ini juga akhirnya berdampak pada naiknya harga daging ayam di pasar.
Selain permasalahan tersebut KPPU juga menemukan adanya klausul dalam kesepakatan yang bersifat diskriminatif, yang berpotensi melanggar Pasal 24 UU No 5/1999. Di mana semua perusahaan yang akan impor bibit harus bergabung dengan GPPU karena ke depan akan dilibatkan dalam penerbitan rekomendasi ekspor atau impor.
Persyaratan tersebut diduga akan mengakibatkan terhambatnya perusahaan breeder yang tidak bergabung dalam asosiasi GPPU untuk bersaing di Pasar. Namun dugaan pelanggaran masih didalami pada proses penyelidikan untuk mengetahui apakah klausul tersebut sudah efektif dijalankan.
Proses pembuktian terkait dengan Dugaan Pelanggaran Pasal 11 UU No 5/1999 akan dilakukan dalam persidangan. Kedua belas perusahaan yang ditetapkan sebagai Terlapor akan diberikan kesempatan untuk mengajukan alat bukti yaitu Keterangan Saksi, Ahli, Surat dan atau Dokumen, petunjuk dan keterangan Terlapor. Tidak tertutup kemungkinan dalam persidangan akan memanggil dan meminta keterangan pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi terjadinya kesepakatan tersebut.