REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai gotong royong yang menjadi falsafah ideologis Indonesia semakin menjauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, dalam kehidupan bermasyarakat, politik dan penyelenggaraan negara, yang terjadi justru adalah semakin menguatnya semangat jual beli pasar.
''Sekarang ini kita kurang memperhatikan pentingnya masalah gotong royong dalam artian ideologis serta sifat melayani sebagai suatu sikap etis,'' kata Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo, dalam diskusi serial bulanan Membangun Budaya dan Nilai ke-Indonesiaan demi Masa Depan Bangsa di Jakarta, Sabtu (6/2).
Dalam serial diskusi kali ini hadir juga sebagai pembicara adalah Widharmika Agung dan Prof Sarlito Wirawan.
Lebih lanjut Pontjo menyampaikan kerisauannya terhadap konsep gotong royong dan sifat melayani yang semakin mengikis di negeri ini. Ia melihat sekarang ini segala hal sudah diukur dengan harga dan dipasangi tarif, baik resmi maupun tak resmi.
''Sebagai pelengkap penderita secara langsung dalam keseluruhan keadaan ini adalah rakyat bangyak, yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan tawar dalam tatanan dunia berbasis pasar itu,'' ujarnya.
Sementara itu, Sarlito mengatakan untuk mengembalikan nilai gotong royong, konsep revolusi mental adalah langkah yang paling tepat dilakukan oleh pemerintah. Revolusi mental, kata dia, tidak hanya dikalangan penyelenggara negara atau birokrat tetapi juga masyarakat luas.
''Revolusi mental sedang kita lakukan. Para pemimpin juga tengah berusaha untuk diubah mentalnya. Karena perubahan pada masyarakat akan terjadi dengan baik jika pemimpinnya sudah berubah memperbaiki diri. Jadi memang harus dimulai dari para pemimpinnya,'' ujarnya.