REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) memperingati 27 tahun peristiwa berdarah Talangsari. Peringatan yang mengangkat tema 'Masih ingat peristiwa Talangsari?' itu untuk menyampaikan jika para korban dan masyarakat tidak pernah lupa peristiwa yang termasuk pelanggaran HAM tersebut.
Peringatan itu digelar di Taman Suropati, Menteng, Jakarta, Ahad (7/2) sore. Meski diguyur hujan, sejumlah anggota Kontras tidak beranjak dari dari Taman Suropati.
Sejumlah payung hitam bertuliskan peristiwa Talangsari '7 Februari 1989' digunakan para anggota Kontras. Mereka berdiri sambil memegang tulisan yang berbunyi #Masih Ingat. Kata ini menyampaikan bahwa para korban dan masyarakat tidak pernah lupa pelanggaran HAM berat tersebut.
Kepala Divisi Pemantauan Kontras, Feri Kusuma menerangkan, banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga hari ini. "Termasuk peristiwa Talangsari," kata Feri kepada wartawan di Taman Suropati Menteng Jakarta, Ahad (7/2).
Pada momentum peringatan peristiwa Talangsari, Kontras ingin mengingatkan kembali pemerintahan Jokowi, agar menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu. Apalagi Presiden Jokowi juga sudah menjanjikan akan menyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Namun hingga hari ini, kata dia, belum ada proses yang berjalan dari pemerintah. "Jadi kita ingin pada momentum ini untuk mengingatkan kembali pelanggaran HAM masa lalu," kata Feri.
Selain Talangsari, Feri mengatakan, terdapat sejumlah peristiwa serupa yang juga belum diselesaikan sampai detik ini. Enam pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu masih akan terua diperjuangkan sampai saat ini. Keenam kejadian tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada 1965/1966, kasus Talangsari, Wamena-Wasior, Penculikan 1997/1998, Semanggi dan peristiwa Trisakti.
Peristiwa Talangsari merupakan peristiwa berdarah yang terjadi di orde baru. Diduga peristiwa ini merupakan penyerangan aparat militer ke sebuah pesantren di dusun Talangsari. Pesantren tersebut bernama Pesantren Warsidi.
Kasus Talangsari hingga kini dianggap sebagai potret ketakutan orde baru terhadap kelompok-kelompok Islam pada saat itu. Pemerintahan orde baru menganggap kelompok-kelompok Islam mulai menentang pemerintahan. Salah satu yang dicurigai adalah kelompok Islam dari pesantren Warsidi.