REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Pemilihan anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka baru (caleg terpilih berdasar suara terbanyak) dipraktikkan dua kali di Indonesia. Namun menjelang penggunaannya yang ketiga kali, muncul usulan untuk merubahnya menjadi sistem proposional tertutup (caleg terpilih berdasar nomor urut).
Menanggapi wacana ini, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti meminta partai politik tidak bereksperimen hanya karena sistem yang tidak menguntungkan mereka. “Perubahan sistem pemilu harus dibuat dalam konteks penguatan posisi pemilih, bukan posisi parpol,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id.
Indonesia telah berulang kali mengganti sistem pemilu. Hingga kini pun tidak diketahui pasti sistem apa yang paling cocok karena sering diubah. Saat ditanya mana yang lebih baik antara sistem proporsional terbuka atau tertutup, Ray menyebut hal itu tergantung apa yang ingin diperkuat.
Apabila ingin mendominasi parpol dan menekan biaya tidak terlalu besar, maka bisa memilih sistem proporsional tertutup. Lewat sistem ini, calon legislatif (caleg) tidak akan berani bersikap kritis terhadap partai. Partai pun dengan leluasa mengontrol caleg.
Sebaliknya, jika ingin memperkuat posisi pemilih maka sistem proporsional terbuka sangatlah cocok. Di sistem ini, pemilih merasa penting untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena bisa memilih caleg secara langsung. “Apapun variannya, boleh-boleh saja selama masih varian proporsional. Tinggal kita mau memperkuat yang mana,” kata Ray.
Dia menyebut selama lebih dari 30 tahun, Indonesia berulangkali menggunakan sistem proporsional tertutup. Efeknya adalah terabaikannya aspirasi masyarakat. Tak hanya itu, caleg pun seolah tidak mempunyai daya tawar. Ketaatan caleg pun ditujukan ke partai, bukan pemilih.