REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai salah satu negara bagian di Rusia, Dagestan tidak sekadar tercatat memiliki mayoritas penduduk beragama Islam. Negara yang terletak di utara Kaukasus itu juga dikenal karena menjadi tempat kelahiran Imam Shamil, pejuang legendaris yang memelopori perlawanan sengit masyarakat Chechnya dan Dagestan terhadap Kekaisaran Rusia pada abad ke-19 silam.
Bahkan, sosok Imam Shamil sampai saat ini masih dihormati oleh masyarakat di kedua negeri, baik Dagestan maupun Chechnya. Ketika rezim komunis Bolshevik berusaha menancapkan kendalinya di Kaukasus pada awal dekade 1920-an, Dagestan berganti status menjadi republik otonom Soviet di bawah naungan Federasi Rusia.
Selama periode kepemimpinan Joseph Stalin (1922–1953), banyak orang Dagestan yang melarikan diri ke negeri tetangga seperti Chechnya dan beberapa kawasan lainnya. Setelah runtuhnya Uni Soviet, pemerintahan Republik Dagestan tetap berada di bawah kendali Rusia.
(Baca: Karena Konflim Muslim Dagestan Sulit Berkembang)
Akan tetapi, negeri itu kemudian menjadi ‘terkenal’ lantaran meningkatnya kejahatan di tengah-tengah masyarakatnya. Tidak hanya itu, korupsi yang kian merajalela di kalangan elite pemerintahannya juga turut mempersuram masa depan negeri itu.
“Posisi geografis Dagestan yang berbatasan langsung dengan Azerbaijan di selatan, kini juga dimanfaatkan sebagai pintu gerbang pemasaran narkoba dari Rusia,” ungkap Enver Kisriev dalam karya tulisnya, Dagestan: Power in the Balance.
Pada Agustus 1999, kelompok militan di bawah pimpinan Shamil Basayev mendeklarasikan berdirinya negara merdeka di beberapa bagian Dagestan dan Chechnya. Kelompok itu juga menyerukan kaum Muslimin yang tinggal di kedua negeri untuk ikut mengangkat senjata melawan Rusia.
Sejumlah pejuang Chechnya pun menyeberang ke Dagestan untuk mendukung gerakan itu. Akan tetapi, pasukan Rusia pada akhirnya mampu memadamkan pemberontakan tersebut hanya dalam beberapa pekan.