REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu dikhawatirkan.
"Saya pikir itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan benar," kata JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (10/2).
Menurut dia, pembentukan dewan pengawas guna mengawasi kinerja KPK merupakan hal yang wajar. Alasannya, semua lembaga juga memiliki dewan pengawas untuk melihat kebijakan masing-masing lembaga tersebut.
"Kenapa sih khawatir untuk ada pengawasnya, pertanyaan saya begitu. Toh tidak bisa, pengawas itu melihat kebijakan. Tidak ikut dalam katakanlah hari-hari mereka, ngapain khawatir," kata JK.
Sementara, terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3), JK menilai tiap manusia memiliki kesalahan dalam bekerja. Sehingga, penerbitan SP3 merupakan hal yang wajar di dalam lembaga penegak hukum. Penerbitan SP3 pun diyakininya tak membuat lembaga KPK justru menjadi melemah.
"SP3 ya memang namanya manusia biasa. Kalau tidak ada kesalahan kan, pasti tidak ada SP3 nya. Manusia biasa kita semua ini kan. Dan itu hukum umum begitu," tambah dia.
JK juga menjelaskan, sistem pengawasan harus tetap dijalankan sesuai dengan aturannya. Sehingga, menurut dia, di dalam revisi UU KPK tersebut tidak ada poin yang justru melemahkan fungsi lembaga KPK. Revisi UU KPK, kata JK, dapat memperkuat posisi hukum lembaga anti-korupsi tersebut.
"Tidak ada hal menurut saya melemahkan itu. Justru memperkuat posisi hukum juga KPK, supaya ada dasar hukumnya dan masyarakat juga ada dasar hukumnya yang lebih jelas kan," kata JK.
Seperti diketahui, terdapat empat poin perubahan draf revisi UU KPK yang digulirkan DPR. Usulan tersebut, di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.
Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Terakhir, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).